Bagikan
0

Masalah kekurangan informasi dan data tentang keanekaragaman hayati merupakan salah satu hambatan memecahkan masalah kesejahteraan manusia dan konservasi di Afrika, seorang pemimpin regional memberi peringatan.

Ameenah Gurib-Fakim, Presiden Republik Mauritius dan profesor kimia organik, mengatakan bahawa membangun suatu jembatan antara riset ilmiah dan lingkungan hidup guna mendukung kesehatan dan kesejahteraan manusia sangat krusial untuk memecahkan tantangan iklim dan pembangunan di benua Afrika.

Sebagai negara kepulauan yang terletak di sebalah timur benua Afrika dan dihuni oleh 1,3 juta penduduk, Mauritius merupakan satu dari lima titik strategis keanekaragaman hayati global, rumah bagi spesies besar dan kecil yang tidak ditemukan di tempat lain di dunia. Saat ini spesies-spesies unik di benua Afrika punah lebih cepat di tingkat rata-rata global, termasuk karena ancaman perubahan iklim, kata Gurib-Fakim

Hilangnya spesies dan perubahan iklim secara pasti memberi dampak bagi kesejahteraan manusia sehingga memerlukan pendekatan skala bentang alam untuk menemukan solusi, tambahnya.

“Pemisahan antara kaya dan miskin – akan didefinisikan di investasi riset ilmiah dan inovasi di bidang ini,” ujar Gurib-Fakim dalam pidato utama Forum Bentang Alam Global, ruang diskusi sains terbesar di dunia tentang penggunaan lahan yang berkelanjutan.

“Masalah-masalah besar kelaparan, kemiskinan dan perubahan iklim yang saling terkait satu sama lain, perlu ditangani bersama-sama,” katanya.

“Ilmu pengetahuan dimulai dari kualitas data,” tambahnya. “Kita memerlukan pemahaman bersama guna menemukan solusi, untuk bersama-sama menikmati kesehatan dan kemakmuran di seluruh dunia.”

   Robert Nasi, Direktur Jenderal CIFOR di Forum Bentang Alam Global di Bonn, Jerman. Pilar Valbuena Perez/CIFOR

PANDANGAN TENTANG BENTANG ALAM

Pendapat Ameenah Gurib-Fakim didukung oleh Robert Nasi, Direktur Jenderal Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), pada pidato pembukaan resmi Forum.

Nasi mendesak penelitian dan aksi pada skala bentang alam, sekaligus mempertimbangkan solusi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan.

“Bentang alam adalah unit manajemen yang tepat,” katanya. “Kita tidak bisa memecahkan masalah sektor per sektor, kita perlu melihat gambar keseluruhan.”

Alih-alih memaksakan definisi sempit pendekatan ‘bentang alam’, menurut Nasi konsep ini lebih baik didefinisikan oleh solusi dari masalah yang ingin dipecahkan oleh para aktor, baik di tingkat global, nasional atau masyarakat. Termasuk perspektif dari masyarakat adat dan pengetahuan tradisional, katanya.

“Apa yang mendefinisikan ‘bentang alam’ benar-benar dari mata para aktor yang mengalami langsung. Semut akan melihat (perspektif) bentang alam yang sama sekali berbeda dari seekor gajah,” jelasnya.

“Ini adalah unit yang tepat untuk mencoba memecahkan masalah yang diberikan, tapi hal ini bukan sesuatu yang bisa dijadikan definisi sederhana.”

Pendekatan bentang alam merupakan pondasi Forum Bentang Alam Global, yang melibatkan pemangku kepentingan dari berbagai sektor yang berbeda dengan kepentingan dalam penggunaan lahan yang berkelanjutan, termasuk masalah pembangunan dan iklim.

Forum 2017 merupakan pertemuan ketujuh sejak 2013, menandai dimulainya babak baru Forum, ditandai oleh kontribusi sebesar 11 juta euro dari pemerintah Jerman. GLF mempunyai komitmen selama lima tahun mendatang terhadap bentang alam di seluruh dunia, bersama dengan para mitra Bank Dunia, CIFOR, Program Lingkungan PBB (UNEP) dan pemerintah Jerman.

Seperti yang dijabarkan Nasi, fase baru ini menjadi desakan untuk memastikan gagasan, diskusi, dan hubungan yang dibuat selama dua hari selama konferensi tingkat dunia di Bonn dan terwujud dalam upaya nyata untuk mengatasi dan memerangi bentang alam dan iklim.

Forum Bonn dihadiri oleh lebih dari 1.000 peserta dan para pemimpin nasional seperti Presiden Gurib-Fakim dan Mantan Presiden Meksiko Felipe Calderon, tokoh lingkungan hidup India, Sadhguru, para ilmuwan, pengusaha, pemimpin LSM, aktor di sektor publik dan swasta, dan sejumlah mahasiswa dan generasi muda.

Ribuan peserta dari 114 negara juga mengikuti dari video siaran langsung berbagai diskusi, pleno, Talking Landscape TED-esque, konferensi pers, dan sesi Launchpad.

Berbagai masalah terkini didiskusikan dalam tema Forum seperti restorasi bentang alam, pembiayaan bentang alam, hak dan pembangunan berkelanjutan, pangan dan mata pencaharian berkelanjutan, termasuk mengukur kemajuan terbaru tujuan perubahan iklim dan pembangunan.

“Forum Bentang Alam Global menciptakan ruang untuk gagasan inovatif yang kemudian dapat diterapkan di lapangan,” kata Barbara Hendricks, Menteri Federal Kementerian Lingkungan Hidup, Konservasi Alam, Bangunan dan Keselamatan Nuklir Jerman (BMUB). “Tujuan menyeluruh adalah belajar dari satu sama lain dan mengambil tindakan bersama.”

   Roberto Borrero, Koordinator Program dan Komunikasi Dewan Perjanjian Internasional India, berbicara pada pleno pembukaan. Pilar Valbuena Perez/CIFOR

PENGETAHUAN LOKAL

Sejalan dengan hasil Konferensi Perubahan Iklim PBB di Bonn, November 2017 dan One Planet Summit yang digagas oleh Presiden Perancis Emmanuel Macron awal Desember 2017 di Paris, GLF juga menempatkan masyarakat adat dan masyarakat yang terpinggirkan di garis depan dalam berbagai diskusi. Forum ini bertujuan untuk memberikan tempat dan membantu mengangkat masyarakat adat dan masyarakat yang terpinggirkan agar memiliki lebih banyak ruang dan perhatian dalam dialog dan proses pengambilan keputusan di tingkat lokal, regional dan global.

Pemimpin masyarakat adat dari Brazil, Chad, dan Filipina turut menghadiri Forum dan berbicara di berbagai panel yang mencakup berbagai topik mulai dari pembuatan kebijakan hingga pembiayaan hingga topik yang lebih sulit dipahami, seperti pentingnya mengubah pola pikir dan mendukung peran individu dalam lingkungan. perubahan. Hasil diskusi menunjukkan bagaimana pengetahuan masyarakat adat sangat penting untuk menemukan solusi holistik terhadap degradasi lahan, penghijauan, keamanan pangan, dan masa depan sumber air bersih.

“Saya pikir hal ini adalah salah satu kontribusi terbesar yang dilakukan oleh penyelenggara adat dan profesional muda, di setiap bidang yang menangani perubahan iklim dan pembangunan yang tidak berkelanjutan – bahwa mereka dapat melihat segala sesuatu sebagai gambaran yang lengkap,” kata Janene Yazzie, salah seorang pendiri dan CEO Solusi Dunia Keenam (Sixth World Solutions) dan anggota Bangsa Suku Navajo AS. “Kami melihat apa yang mempengaruhi udara, langit ayah kita, bumi ibu kami.”

Sebagaimana yang digarisbawahi oleh Roberto Borerro, Koordinator Program dan Komunikasi Dewan Perjanjian Internasional India (Programs and Communications Coordinator of International Indian Treaty Council), sangat penting untuk mengubah persepsi umum masyarakat adat sebagai kelompok rentan, tidak berdaya, atau sumber konflik. Sebaliknya, mereka harus dipandang sebagai mitra dalam posisi unik untuk menawarkan solusi mengenai masalah lingkungan.

“Kami tidak mencari penyelamat,” katanya. “Kami bisa menyelamatkan diri kami jika kami diberi alat yang tepat dan kesempatan untuk menyelamatkan diri kami sendiri.”

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Perubahan Iklim Bentang alam

Lebih lanjut Perubahan Iklim or Bentang alam

Lihat semua