Berita

Kebakaran dan asap beracun lahan gambut: Kekuatan persepsi

Bagaimana cara pandang membentuk kebijakan dan aksi
Bagikan
0
Ilmuwan CIFOR dan mitra peneliti memantau Pesawat Tanpa Awak (Unmanned Aerial Vehicle/UAV) terbang melintasi gambut terbakar di luar kota Palangkaraya, Indonesia. Peningkatan kesadaran mengenai pentingnya memahami persepsi pemangku kepentingan berdampak pada lingkungan. Foto CIFOR/Aulia Erlangga Aulia Erlangga/CIFOR

Bacaan terkait

Berbekal bukti panasnya api, kita terdorong berasumsi bahwa segalanya jelas dari apa yang terlihat. Namun, menurut sebuah penelitian terbaru, persepsi mengenai kebakaran lahan gambut di Indonesia sangat berbeda pada berbagai aktor, dan hal tersebut menjelaskan aneka perilaku, aksi dan dampak lingkungan di lapangan.

Penelitian yang dipimpin Rachel Carmenta, di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional  (CIFOR), bekerja sama dengan Universitas Lancaster, Cambridge dan Florida, menggunakan pendekatan baru untuk memetakan persepsi beragam pemangku kepentingan, mulai dari pengambil kebijakan internasional hingga petani lokal dan pemilik lahan yang tinggal jauh. Mereka semua berperan dalam pemanfaatan, manajemen dan masa depan lahan gambut.

Menggunakan metodologi Q – biasa digunakan dalam psikologi untuk mengidentifikasi subyektifitas pemangku kepentingan atas subyek tertentu – tim peneliti mampu menyerap informasi bagaimana berbagai kelompok mempersepsikan keuntungan dan kerugian kebakaran gambut, serta asap beracun, selain juga persepsi mengenai efektivitas potensi solusinya.

“Kami ingin lebih memahami bagaimana kebakaran gambut dipersepsi oleh beragam kelompok pemangku kepentingan terkait, karena persepsi dapat mengungkap sesuatu mengenai apa yang kita lihat, apa yang kita lakukan, dan menunjukkan jalan menuju masa depan lebih lestari,” kata Carmenta.

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN

Hasil awal penelitian, menunjukkan tidak sekadar kerangka sederhana dua kelompok aktor – petani dan pelaku agroindustri – sebagai penyebab kebakaran, namun keterlibatan sekumpulan kelompok aktor. Motivasi mereka juga lebih dari sekadar membersihkan lahan dengan murah.

“Kami fokuskan penelitian di Riau, sebagai garis depan lahan gambut saat ini. Banyak aktor baru, mulai dari kepentingan bisnis internasional, investor tingkat kota, hingga petani skala kecil yang bermigrasi dari wilayah lain Sumatera. Mereka secara radikal mengubah bentang alam dalam proses yang secara langsung atau tak langsung menggunakan api,” papar Carmenta.

“Sebagian tantangan lingkungan terbesar saat ini adalah kompleksitas masalah lintas sektor dan skala – lahan gambut  merupakan salah satu contohnya – dan kebakaran menjadi buktinya,” tambahnya. “Di garis depan lahan gambut padat karbon tersebut, berbagai kepentingan bermain di atas sumber daya dan mengakumulasi kerugian dan keuntungan yang dialami secara berbeda pada tiap aktor.”

Sebanyak 12 kelompok pemangku kepentingan berbeda teridentifikasi melalui pemetaan lapangandi Dumai, Riau, selama enam pekan pada awal 2015,  serta diperkuat oleh konsultasi pakar dan kajian literatur. Banyak kelompok pemangku kepentingan ditemukan memiliki persepsi berbeda terkait kebakaran lahan gambut.

“Tranformasi lahan gambut berlangsung cepat, dan perubahan pemanfaatan lahan secara radikal terjadi di Riau dalam rentang waktu singkat,” kata Carmenta.

“Tentu saja, bagi sebagian orang perubahan ini positif, antara lain karena peningkatan pendapatan secara cepat. Sementara pihak lain mengeluhkan perubahan drastis, misalnya, karena degradasi jasa ekosistem dan dampak kesehatan masyarakat terkait, banyak yang belum terkuantifikasi.”

“Pemahaman lebih baik mengenai kerugian kebakaran pada berbagai sektor, seperti kesehatan, pendidikan dan lingkungan akan memperbaiki pemahaman timbal balik nyata dari perkebunan seperti sawit dan akasia, serta akan menjadi landasan pengetahuan dalam perencanaan dan manajemen,” tambahnya.

Penggunaan api mengakar di Riau, baik secara sengaja maupun terdorong kondisi yang membuat api tersebar secara aksidental. Misalnya, alasan pembakaran disengaja antara lain dalam persiapan lahan, atau dilatarbelakangi perselisihan lahan dan sumber daya. Penyebab tak langsung kebakaran, antara lain pengeringan lahan gambut untuk kebutuhan perluasan perkebunan di atas gambut, yang meningkatkan kerentanan.

“Kebakaran aksidental (api meluas di luar batas) dipengaruhi oleh kondisi gambut kering, yang mendorong tersebarnya kebakaran, serta konflik tenurial, yang berarti insentif manajemen api tidak ideal,” kata Carmenta.

KONFLIK PANDANGAN, KEPENTINGAN UMUM

Penelitian menunjukkan perbedaan signifikan persepsi kelompok, wilayah kesepakatan dan kontroversi, serta pembahasan untuk implikasi desain intervensi manajemen kebakaran (FMI) masa depan dan tantangan tata kelola perubahan lingkungan global.

Para peneliti mampu mengidentifikasi pilihan dari berbagai potensi keuntungan dan kerugian yang disusun berdasar peringkat tertinggi urgensi antar kelompok berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesehatan masyarakat dan dampak keragaman hayati akibat kebakaran merupakan wilayah perhatian yang menyatukan berbagai kelompok berbeda.

“Prioritas tinggi diberikan pada dampak kesehatan telah kami duga, menyusul situasi yang sangat buruk pada 2015. Namun, kami terkejut melihat bahwa beban gas rumah kaca dan keragaman hayati juga ditempatkan secara umum sebagai perhatian kunci pada berbagai kelompok pemangku kepentingan,” kata Carmenta.

Dalam melakukan identifikasi bagaimana berbagai kelompok memikirkan solusi kebakaran gambut, kelompok penelitian menganalisis respon peserta atas sekumpulan FMI kontemporer, termasuk kebijakan nasional dalam merespon kebakaran 2015. Hasilnya menunjukkan bahwa secara umum FMI dipandang sebagai cara paling efektif, meski muncul kontroversi sengit antar kelompok.

“Kami menunjukkan bahwa opsi solusi utama yang dipersepsi paling efektif juga muncul sebagai yang paling tidak disepakati antar pemangku kepentingan,” kata Carmenta.

Intervensi tersebut antara lain peningkatan pemanfaatan kanal dangkal untuk menjaga akses air, menjadi penghalang api dan menjaga tingkat air lebih tinggi; melarang ekspansi pertanian di lahan gambut; dan meningkatkan tindakan penegakkan hukum terhadap perusahaan yang terjadi kebakaran dalam lahan mereka.

“Hal tersebut merupakan intervensi yang terkuat hari ini. Hasil ini menunjukkan tantangan bagi para pengambil kebijakan dan implementator, serta memunculkan pertanyaan mengenai bagaimana merekonsiliasi berbagai kepentingan dan instumen kebijakan apa yang paling efektif,” lanjut Carmenta.

Penelitian menunjukkan bahwa kebijakan terarah dan dialog antar berbagai kelompok akan menjadi bagian penting dalam merancang dan mengimplementasikan pendekatan FMI yang tepat dalam mengatasi jurang pemisah kebijakan dengan praktik yang saat ini ada. Hal ini merupakan salah satu tantangan utama dalam tata kelola kebakaran lahan gambut dan, pada tata kelola berbagai bentuk manifestasi lain dalam perubahan iklim global.

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Rachel Carmenta di rachelcarmenta@gmail.com.
Riset ini didukung oleh Program KNOWFOR dari Departeman Pembangunan Internasional (Department for International Development/DFID) Kerajaan Inggris.
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Deforestasi Perubahan Iklim Kebakaran hutan & lahan Pertanian ramah hutan Lahan Gambut

Lebih lanjut Deforestasi or Perubahan Iklim or Kebakaran hutan & lahan or Pertanian ramah hutan or Lahan Gambut

Lihat semua