Liputan Khusus

Kegagalan untuk mendapatkan Kyoto Protokol kedua akan mengancam sistem iklim PBB, kata delegasi Indonesia

REDD+ ibarat buah matang yang tinggal dipetik di dahan paling rendah untuk memperlambat perubahan iklim.
Bagikan
0

Bacaan terkait

JAKARTA, Indonesia (25 November, 2011) _ Pemimpin delegasi Indonesia di pertemuan perubahan iklim di Durban menyerukan peringatan akan terancamnya keseluruhan proses negosiasi multilateral PBB jika kerangka kesepakatan baru yang mengikat secara hukum dan tetap membedakan tanggung jawab pengurangan emisi antara negara maju dan berkembang tidak tercapai dalam beberapa tahun ke depan.

“Komitmen kedua Kyoto Protokol merupakan keharusan karena bila diganggu dapat merusak keseluruhan sistem UNFCCC,” ujar Rachmat Witoelar, Ketua Tim Negosiasi Indonesia di Konferensi Para Pihak (COP) di Durban, Afrika Selatan, dalam pertemuan dengan media di Jakarta baru-baru ini. Komunitas global telah mencapai konsensus mengenai kewajiban negara maju dan berkembang di Bali empat tahun lalu dan kesepakatan tersebut menjadi dasar proses negosiasi sesudahnya, tambahnya. “Tugas COP berikut adalah untuk menjabarkan berapa banyak (target pengurangan emisi baru) dan kapan” pada COP15 di Kopenhagen.

Pertemuan di Kopenhagen tahun 2009 berakhir dengan kekecewaan dari banyak negara karena tidak tercapainya kesepakatan mengenai target pengurangan emisi baru di bawah perjanjian yang akan mengantikan Protokol Kyoto, yang akan berakhir di tahun 2012. Perundingan putaran berikutnya di Cancun berhasil mencapai konsensus untuk memasukkan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, atau REDD+, untuk mendorong negara berkembang menjaga hutan mereka sebagai bagian dari kerangka mitigasi global yang berikutnya.

Beberapa pakar, termasuk Antonio La Viña, fasilitator negosiasi REDD+ di pertemuan iklim PBB, mengatakan bahwa ada banyak pilihan supaya skema hutan ini dapat terus bergerak maju, bahkan meskipun tanpa adanya payung perjanjian perubahan iklim. Pilihan ini termasuk pembiayaan bilateral yang sedang berjalan, seperti dari Norwegia dan Australia, dan pasar karbon di masa depan melalui inisiatif sub-nasional. California, negara bagian Amerika, akan mengijinkan perusahaan-perusahaan untuk membeli kredit hutan dari luar Amerika Serikat untuk memenuhi kewajiban pengurangan emisi mereka mulai tahun 2015, kata Andrea Tuttle dari Pacific Forest Trust.

Saat ini, REDD+ telah menarik minat dari sektor swasta. Bank investasi seperti Macquarie dan BNP Paribas telah mulai mengembangkan dana investasi untuk kredit karbon hutan, kata Dharsono Hartono, Direktur Utama PT Rimba Makmur Utama, perusahaan yang mempunyai proyek REDD+ di Kalimantan Tengah. “Mereka menyadari bahwa REDD ibarat buah matang yang tinggal dipetik di dahan paling rendah” untuk memperlambat perubahan iklim, katanya.

Namun, ancaman krisis keuangan yang menyebar di Eropa setelah menghantam Amerika Serikat dan menimbulkan resesi hebat telah menjatuhkan upaya-upaya memperlambat perubahan iklim di skala prioritas negara-negara tersebut, yang lebih memilih mendorong tumbuhnya kembali perekonomian. Harapan akan apa yang dapat dicapai pada perundingan iklim selanjutnya menjadi rendah. “Bila Durban dapat mempertahankan momentum, pertemuan ini sudah bisa dikatakan sukses,” ujar Franz Drees-Gross, Manajer Pembangunan Berkelanjutan di Bank Dunia.

Keputusan mengenai kesepakatan yang baru tidak akan tercapai di Durban maupun di perundingan perubahan iklim PBB tahun depan, kata Witoelar. Namun, ia tetap “optimis” bahwa akan ada persetujuan “tidak lama setelah itu”. Sementara menunggu hal ini terjadi, salah satu pilihan yang dapat diambil adalah perpanjangan Protokol Kyoto, yang dibangun berdasarkan prinsip “bersama namun dengan perbedaan tanggung jawab”.

Negara-negara terkaya di dunia, termasuk Amerika Serikat, Jepang dan Rusia, telah mengatakan bahwa mereka tidak akan menandatangani kesepakatan iklim global yang baru kecuali batas karbon yang mengikat secara hukum juga dikenakan pada negara-negara berkembang besar seperti Cina dan India, yang menghasilkan semakin banyak gas rumah kaca seiring peningkatan produk domestik bruto (PDB).

Banyak negara berkembang, meskipun tetap menolak target yang mengikat, telah menetapkan target emisi sukarela. Awal tahun ini, Cina menyetujui rencana untuk mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 17 persen per unit produk domestik bruto (PDB) sampai 2015. Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan sasaran ambisius untuk mengurangi emisi sebesar 26 persen dari tingkat business-as-usual pada tahun 2020 dan sebesar 41 persen dengan bantuan dari luar.

Tim penulis berpengalaman CIFOR akan meliput negosiasi perubahan iklim dan acara-acara lain di COP17 di Durban, Afrika Selatan, pada tanggal 28 November – 9 Desember. Silakan ikuti berita-berita yang berhubungan dengan hutan, REDD +, keamanan pangan dan perubahan iklim di Blog Hutan CIFOR dan akun CIFOR_forests di twitter. Mari bergabung di Forest Day 5, arena global masalah kehutanan dan perubahan iklim yang terbesar, dengan mengikuti hashtag #FD5 di twitter.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org