Analisis

Kebijakan kebakaran lahan gambut: Dulu hingga kini

Menganalisis 20 tahun intervensi tata kelola kebakaran gambut di Indonesia
Bagikan
0
Hamparan lahan gambut yang terbakar, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Foto: Aulia Erlangga/CIFOR

Bacaan terkait

Indonesia – Hampir dua dekade setelah kebakaran besar hutan di Indonesia 1997-1998 menarik perhatian internasional dan memicu gelombang pembenahan tata kelola, kebakaran besar terjadi lagi pada 2013, 2014, dan paling parah pada 2015, memicu krisis kemanusiaan dan krisis ekologi. Sejak 1998, kebakaran hutan yang biasanya hanya terjadi setahun sekali, jadi makin sering terjadi dipicu tahun anomali iklim.

Kehancuran akibat kebakaran 2015 memicu pembaruan kemauan politik dan ekperimentasi pemerintah seputar manajemen kebakaran dan keberlanjutan lahan gambut Indonesia. Hal ini menjadi momentum berharga untuk menginventarisasi apa yang telah dilakukan dan bagaimana belajar dari upaya Intervensi Manajemen Kebakaran (FMI) masa lalu.

Sampai saat ini, masyarakat ilmiah telah memberikan pandangannya mengenai FMI. Pandangan umum yang muncul terkait FMI Indonesia adalah kritik atas tumpulnya instrumen kebijakan – terutama FMI gagal memenuhi target sumber daya secara secara strategis (mencapai situasi dan aktor yang sangat terkait dengan asap dan perluasan kebakaran), hingga mengganggu efisiensi, kesetaraan, efektivitasnya.

Landasan pengetahuan juga menawarkan penghitungan yang jelas berbagai variabel relevan dalam memprediksi asap dan perluasan kebakaran di Indonesia. Variabel ini meliputi jenis tanah, bulan panas, dan jenis pemilik lahan. Kita seharusnya bertanya diri sendiri apakah variabel tersebut dihitung dalam target FMI, dan jika ya, oleh siapa. Apakah ada metode lain yang secara spesifik menjadi target FMI?

Penelitian yang tengah dilakukan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), dipimpin oleh peneliti Una Jefferson, Rachel Carmenta, dan Jacob Phelps, bertujuan mengidentifikasi bagaimana tendensi antar sektor (LSM, bisnis, pemerintah, atau campuran) melakukan FMI, dan metoda yang digunakan untuk menspesifikasi target sumber daya interensi. Dalam hal ini, “sumber daya” bisa berarti segala hal, mulai dari peningkatan kapasitas hingga pembiayaan proyek.

Penelitian CIFOR menganalisis bagaimana FMI mengatasi kebakaran gambut di Provinsi Riau, pusat aktivitas kebakaran gambut di Indonesia. Kumpulan data yang ada meliputi FMI antara Januari 1999 hingga Desember 2016, dan diverifikasi melalui analisis dokumen kebijakan, kajian literatur (abu-abu dan ilmiah), serta konsultasi dengan pemangku kepentingan utama.

Penelitian ini memungkinkan eksaminasi konten formal intervensi dan aktornya, serta skala institusi di baliknya, untuk mengungkap dinamika yang bermain dalam keragaman arena tata kelola lingkungan Indonesia. Meski penelitian masih berlangsung, analisis awal data memberikan beberapa hasil awal.

FMI TERFOKUS PADA PENCEGAHAN DAN PETANI

Apa yang kita tahu mengenai fokus FMI?

Pertama, data menunjukkan bahwa sejak 1998, FMI menjaga fokus de jure pada pencegahan kebakaran, dibanding penekanan jangka pendek. Fokus jangka panjang (setidaknya di atas kertas) dalam mengatasi penyebab mendasar pemicu dan penyebaran kebakaran memunculkan kontradiksi komentar yang menyarankan bahwa pergeseran prioritas menuju tindakan pencegahan perlu dilakukan. Selain itu, mungkin pergeseran pencegahan “kontemporer” berisi luapan komitmen politik untuk membawa FMI dari kertas menjadi realitas de facto.

Sebagian besar FMI memfokuskan upaya mereka pada pemilik lahan, dan sebagian besarnya terfokus pada petani bukannya pada bisnis. Sekitar seperempat FMI menargetkan pemilik lahan, namun tidak terbedakan jenis pemilik lahan. Hal ini merupakan kelalaian yang disayangkan, karena berbagai spesifikasi jenis aktor menjadi penting dalam mengatasi kebakaran gambut.

PERLU LEBIH SPESIFIK UNTUK MEMAKSIMALKAN PERFORMA FMI

Hasil awal menunjukkan sekelompok variabel terkait penyebab asap dan kebakaran yang belum dimasukkan dalam target FMI. Jenis tanah (gambut atau mineral) memberi implikasi penting insiden kebakaran dan meluasnya kebakaran, belum lagi masalah terkait kebakaran, mulai dari asap hingga emisi karbon, dan memang sangat umum digunaan sebagai target variabel dalam data kami.

Jenis tanah hanya dirinci oleh sekitar separuh FMI, dan hanya seperempat yang merincinya dalam konteks lahan gambut.

Jauh lebih sedikit lagi intervensi menargetkan pengaturan atau sumber daya proyek pada periode risiko tinggi kebakaran (menetapkan parameter cuaca, bulan, atau tingkat keparahan kebakaran). Masih sedikit yang membedakan antara dua kategori fungsional status pemilik lahan – “petani” atau “bisnis” – dalam target, padahal bukti bahwa dikotomi ini secara kritis membedakan penyusunan kebijakan kebakaran gambut.

Secara umum, hasil ini menunjukkan bahwa elemen krusial potensi kebijakan belum diraih. Padahal kebijakan perlu menargetkan konteks spesifiknya dalam memaksimalkan performanya.

TARGET LANGSUNG: ALAT NON-PEMERINTAH DENGAN POTENSI KEBIJAKAN PUBLIK?  

Ketepatan variabel bukan satu-satunya jalan menspesifikasi target FMI. FMI non-pemerintah seringkali menggunakan kejadian kebakaran dan asap sebagai dasar pemilihan target untuk lebih sering melakukan intervensi dibanding inisiatif pemerintah.

Contohnya, sanksi dan ganjaran FMI bisnis dan LSM, mayoritasnya diberikan secara kondisional berdasar performa. Sementara inisiatif pemerintah lebih menekankan pada kepatuhan pada aturan tindakan yang telah ditetapkan sebelumnya seringkali diterapkan di sebuah wilayah, meski basis bukti menunjukkan perlunya pendekatan berbeda.

Begitu pula dengan mayoritas  intervensi bisnis, yang secara eksplisit menerapkan catatan sejarah kebakaran di lokasi terpilih untuk FMI. Sementara baru-baru ini FMI pemerintah (Badan Restorasi Gambut) cenderung tidak melakukannya.

Sementara penggunaan ketepatan variabel target dilakukan seragam pada lintas sektor, metode lebih langsung telah diterapkan pada inisiatif non-pemerintah. Keberagaman cara ini merupakan potensi pembelajaran kebijakan lintas sektor.

PENELITIAN BERLANJUT 

Penelitian CIFOR akan terus berlanjut sampai dengan akhir 2017. Analisis lebih lanjut akan mencakup pengkategorian skalar dan karakteristik sektoral dari kerangka kelembagaan dibalik FMI beserta kebijakannya dalam mencapai hasil secara lebih komprehensif, sistematis dan terperinci.

Hal ini diharapkan dapat merefleksikan kompetensi spesifik dari beragam grup yang menentukan tata kelola lingkungan di Indonesia, mengindikasikan potensi untuk pembelajaran kebijakan, serta menunjukkan celah antara konten FMI dengan basis bukti ilmiah yang dapat diperbaiki di masa depan.

 

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Rachel Carmenta di r.carmenta@cgiar.org.
Riset ini didukung oleh DFID-KNOWFOR
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org