Bagikan
0

Bacaan terkait

Pelimpahan hak atas lahan adat dari pemerintah Indonesia kepada masyarakat adat baru-baru ini, disambut sebagai langkah besar oleh banyak komunitas kehutanan di Indonesia. Pada awal 2017, sebanyak 13.000 hektare lahan adat diserahkan pada sembilan masyarakat adat, sebagai pengakuan atas kesetiaan mereka mengampu dan mengelola hutan.

Salah satu masyarakat adat yang diakui oleh gerakan tersebut adalah masyarakat Kajang, Sulawesi Selatan, sekaligus dijadikan percontohan nasional. Agus Mulyana, peneliti senior tata kelola Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), terlibat dalam proses menuju pelimpahan tersebut. Kami melakukan wawancara untuk mengungkap pandangannya hingga mencapai tahap ini, dan apa yang perlu dilakukan ke depan.

Apa status masyarakat adat dalam tata kelola hutan sebelum pelimpahan ini?

Masyararakat adat Kajang mengelola hutan mereka dengan cara tradisional, berdasarkan aturan Pasar Ri Kajang, hukum adat turun temurun. Pada 1982, melalui undang-undang no.760, Kementerian Pertanian menerbitkan aturan yang menyatakan wilayah hutan di Sulawesi Selatan mencakup 3,6 juta hektare, termasuk di dalamnya hutan adat Kajang.  Akibatnya, status hutan berubah menjadi milik negara, dengan fungsi sebagai hutan produksi terbatas. Perubahan ini mengancam konservasi hutan, karena mengarah pada eksploitasi kayu ilegal.

Aturan ini juga memicu konflik akibat perubahan status hutan, dan konflik lintas-kultur antara pemerintah dan masyarakat adat. Pemerintah lokal berasumsi telah memiliki otoritas mengeluarkan izin pemanfaatan kayu hutan, sementara menurut aturan tradisional, penebangan di wilayah tersebut dilarang. Bahkan faktanya, masyarakat adat dilarang oleh aturan mereka sendiri untuk masuk ke dalam hutan.

Bagi masyarakat adat Kajang, melindungi hutan bukan sekadar masalah melindungi kepentingan mereka sendiri. Berdasarkan peraturan 1982, sekitar 332 hektare hutan adat Kajang menjadi hutan produksi terbatas (HPT). Berdasarkan pemetaan partisipatoris, wilayah terkonvensi adalah seluas 314 hektare. Pemetaan partisipatoris juga menunjukkan bahwa total wilayah hutan adat lebih dari 22.500 hektare. Wilayah tersebut memiliki fungsi hidrologis, karena menyangga tiga daerah aliran sungai penting yang menjamin suplai air bersih dan irigasi bagi ribuan hektare lahan sawah di tiga kecamatan di kabupaten Bulukumba.

Dengan keluarnya peraturan mengenai hutan adat, peran masyarakat adat akan menjadi lebih strategis dalam menentukan nasib hutan mereka. Tindakan yang dilakukan negara mengubah status dan fungsi hutan adat juga mendukung seluruh pemangku kepentingan untuk belajar bagaimana mengembangkan metode tata kelola kolaboratif.

Agus Mulyana, peneliti CIFOR

Penelitian kami mencoba mencari peluang mengatasi dan menyelesaikan konflik dengan memindahkan fokus pada kedua sisi, daripada hanya terfokus pada status hutan dan siapa pemiliknya. Meluaskan fokus pada fungsi dan kepentingan tiap pihak dengan bobot pada wilayah hutan. Kami ingin meyakinkan para pemangku kepentingan di dua belah pihak bahwa kerjasama tata kelola akan memberi hasil lebih baik dalam menyangga fungsi hutan.

Bagaimana tata kelola hutan akan berubah setelah ini?

Keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan yang baru merupakan penanda kemajuan, dan langkah besar bagi pemerintah. Hal ini dapat menjadi arena sempurna dalam menemukan jalan terbaik meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat dan melindungi lingkungan hidup alami.

Dengan keluarnya peraturan mengenai hutan adat, peran masyarakat adat akan menjadi lebih strategis dalam menentukan nasib hutan mereka. Tindakan yang dilakukan negara mengubah status dan fungsi hutan adat, pada akhirnya akan mendukung seluruh pemangku kepentingan untuk belajar bagaimana mengembangkan metode tata kelola kolaboratif.

Hal ini juga berarti bahwa pemerintah telah mengambil peran baru, sebagai fasilitator dan regulator untuk membantu dan memberdayakan institusi tradisional. Sebagai fasilitator, pemerintah perlu membantu masyarakat adat menghadapi ancaman eksternal yang berada di luar jangkauan pengaruh kendali mereka, misalnya ekspansi investor yang ingin menguasai wilayah hutan. Sebagai regulator, pemerintah akan perlu membantu membangun kapasitas masyarakat adat. Misalnya, dengan membantu mereka membangun kelembagaan baru melalui proses pengembangan kebijakan, termasuk dengan mengeluarkan regulasi lokal berbasis tradisi, atau tata kelola hutan berbasis mayarakat.

Apa artinya hal ini bagi konservasi hutan?

Konservasi terancam ketika status hutan berubah menjadi hutan produksi terbatas. Namun, pemerintah lokal dapat merespon situasi seperti ini dengan pendekatan tata kelola kolaboratif.

Badan Kehutanan Kabupaten Bulukumba dan masyarakat adat Kajang dapat membuat kesepakatan untuk melakukan langkah konkret, seperti melakukan patroli bersama polisi hutan dan masyarakat. Selain itu, sanksi formal dan tradisi dapat diperkuat untuk setiap kasus pelanggaran.

Di masa depan, aktivitas konservasi dapat juga memperkuat kelembagaan tradisional, hingga jalinan sinergi antara budaya tradisional dan konservasi hutan makin kuat – bahkan lebih baik lagi jika seluruh pemangku kepentingan mempertimbangkan fungsi hidrologis wilayah hutan Kajang. Saya optimis, masyarakat dan pemerintah akan bekerja sama untuk hasil konservasi lebih baik. Ini akan mencakup upaya menjaga keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan.

  

Apakah pengetahuan tradisional akan makin berperan dalam tata kelola hutan? Bagaimana caranya?

Pengetahuan tradisional adalah elemen penting kelembagaan informal, dan terbangun dari tiga elemen penting, yaitu: infrastruktur lunak (seperti nilai, prinsip, peraturan lokal dan selanjutanya), pengaturan perencanaan (struktur dan tata kelola organisasional, personil dan kepemimpinan) serta mekanisme (resolusi konflik penegakkan hukum, perencanaan dan deliberasi). Tercakup dalam tiga elemen tersebut adalah kekuatan implisit sistem tata kelola pengetahuan lokal.

Salah satu contohnya adalah falsafah budaya Kamase Mase, yaitu, hidup sederhana dalam kekayaan sumber daya alam. Masyarakat yang punya hak menebang pohon adalah mereka yang tidak mampu membelinya di tempat lain. Penebangan hanya dipraktikkan dalam wilayah yang diatur hukum adat, tanpa penggunaan mesin, dan harus diangkut di bawah pengawasan ketat.

Penguatan pengetahuan adat seperti ini akan menentukan nasib dan masa depan, bukan hanya hutan adat, tetapi masyarakat adat secara keseluruhan. Mempertimbangkan tiga elemen tersebut dalam seluruh kebijakan, akan menjamin dan mengurani ketidakpastian pemerintah terhadap masyarakat adat, apakah akan benar-benar melindungi hutan adat, atau akankah dijual untuk kepentingan bisnis.

Apa artinya bagi pertumbuhan ekonomi setempat?

Diperoleh manfaat secara langsung maupun tak langsung. Salah satu manfaatnya adalah hak dan tanggung jawab masyarakat atas hutan adat akan menjadi lebih terjamin secara legal karena memasuki sistem administratif negara. Pemerintah tidak lagi melakukan intervensi, apalagi menentukan tata kelola hutan adat di masa depan. Pemerintah juga tidak lagi menjadi penentu status hutan adat.

Di masa depan, aktivitas konservasi dapat juga memperkuat kelembagaan tradisional, hingga jalinan sinergi antara budaya tradisional dan konservasi hutan makin kuat.

Agus Mulyana, Peneliti CIFOR

Masyarakat adat tidak menuntut hadiah atau penghargaan. Masih terlalu dini mengukur dampak ekonomi peraturan ini bagi masyarakat Kajang. Saat ini, sebagian besar masyarakat Kajang adalah petani, dengan ekonomi berbasis lahan.

Pendapat saya, peraturan ini akan memiliki pengaruh nyata jika diterjemahkan ke dalam sistem penghargaan dan/atau pembayaran jasa lingkungan, sebagai bentuk apresiasi bagi perlindungan masyarakat adat terhadap hutan di hilir daerah aliran sungai, misalnya. Penghargaan ini dapat diberikan dalam bentuk mengratiskan biaya sekolah, pembayaran perawatan kesehatan, atau membantu mengatur pembagian keuntungan dalam struktur perdagangan dan pasar produksi pertanian mereka.

Informasi lebih lanjut tentang topik ini hubungi Agus Mulyana di 9035m031@gmail.com.
Riset ini didukung oleh Global Affairs Canada
Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org