Berita

Mengawal praktik sawit berkelanjutan

Penelitian baru menemukan faktor-faktor pendorong komitmen produksi bertanggungjawab komoditi sawit.
Bagikan
0
Pendistribusian tambahan biaya keberlanjutan di seluruh rantai nilai produksi dapat membantu kontinuitas praktik sawit lestari. Lucy McHugh/CIFOR

Bacaan terkait

Banyak orang ingin melakukan hal yang benar dalam hidup. Tetapi seringkali melakukan hal yang benar berarti perlu berkorban atau mengurangi kenyamanan. Diperlukan insentif untuk mendorong perilaku baik.

Tidak ada yang paling transparan dalam hal ini kecuali industri sawit.

Memproduksi sawit secara berkelanjutan mengharuskan produsen, antara lain, mencegah punahnya keragaman hayati, menahan laju deforestasi, mencegah eksploitasi karyawan, meminimalkan polusi serta emisi gas rumah kaca (GRK). Tetapi hal ini seringkali berada di luar jangkauan peraturan negara di tempat perusahaan-perusahaan kelapa sawit beroperasi dan lebih memakan biaya serta lebih kompleks daripada upaya biasa antar kompetitor.

Jadi, selain berkontribusi pada masa depan lingkungan lebih baik dan mengklaim beberapa hektare moralitas, apa yang memotivasi industri memenuhi standar?

“Kami temukan dua pendorong utama, yaitu, pertama dan terpenting, risiko bisnis yang dihadapi produsen, terkait praktik tidak berkelanjutan. Dan kedua, hubungan dan aliansi yang dibentuk bisnis,” kata Sophia Gnych, ilmuwan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) sekaligus penulis utama penelitian yang baru dipublikasikan tentang hal ini.

MEMBANGUN JALAN MASUK

Kelompok masyarakat sipil dan konsumen memainkan peran penting meningkatkan reputasi dan risiko pasar bagi perusahaan yang beroperasi secara berkelanjutan.

Hasilnya, standar seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), yang mensertifikasi praktik berkelanjutan industri, membangun jalan dalam signifikan dalam industri.

Sawit bersertifikat RSPO sebanyak 21 persen dari 13,47 juta ton produksi minyak sawit global tahun lalu – kenaikan impresif sejak sertifikat sawit pertama dibawa ke pasar pada 2008.

Tetapi disamping hasil ini, sertifikasi memerlukan aksi dan berbiaya yang hanya bisa dipenuhi sebagian pengembang. Oleh karena itu, sertifikasi seluruh basis suplai tidak feasible.

“Saat ini, peningkatan standar sertifikasi terbatas pada perusahaan besar,” kata Sophia Gnych, merujuk produsen sawit besar seperti Golden Agri Resources dan Wilmar.

Perusahaan sebesar itu menghadapi risiko bisnis jika diketahui produksi perusahaan bersumber dari sawit tidak berkelanjutan. Perusahaan tersebut juga memiliki kapasitas untuk memenuhi kriteria keberlanjutan serta tetap menghasilkan keuntungan. Bagaimanapun, hal serupa tidak selalu bisa dilakukan pada petani kecil yang menjadi sumber penyedia bahan baku bagi perusahaan-perusahaan tersebut.

MENCARI AKAR MASALAH

Produsen kecil kurang termotivasi oleh risiko reputasi, karena mereka tidak memiliki merek untuk dipertahankan. Meski akses ke pabrik dan pasar internasional amat penting.

Produsen kecil, yang memproduksi sekitar 40 persen sawit Indonesia, dan merupakan pendorong signifikan deforestasi dan tantangan keberlanjutan lain-lain, tampaknya kurang menyukai perubahan. Banyak produsen kecil tidak memiliki pengetahuan, kapasitas teknis, modal atau fleksibilitas finansial untuk meningkatkan standar.

Tetapi komitmen terbaru pedagang sawit besar global untuk menghapus deforestasi menjadi ancaman karena bisa mengeluarkan produsen kecil dari rantai suplai.

Penelitian di Kalimantan Barat menunjukkan bahwa produsen kecil akan kehilangan hingga 70 persen potensi pemasukan akibat ‘biaya perkebunan’ dan pembayaran kredit. Dalam konteks ini, dapat dimengerti bahwa ada tambahan biaya praktik berkelanjutan – seperti standar pemantauan dan pelaporan serta pelatihan praktik pertanian  – memberikan hambatan besar tersendiri terhadap perubahan.

Tambahan hambatan tersebut seperti sikap yang sudah berurat akar dan praktik birokrasi dan banyak pengelola dan staf dalam industri ini – dari petani ke pemilik pabrik pengolahan – yang belum sepenuhnya mengerti pertimbangan keberlanjutan, atau apa maknanya dalam praktik.

Saat ini, meningginya standar sertifikasi terbatas pada perusahaan besar.

Sophia Gnych

Kaitan antar faktor-faktor tersebut menimbulkan “patahan dan kerumitan bentang kebijakan sosial dan lingkungan, standar dan regulasi,” kata Sophia Gnych.

Dan, tampaknya bukan hal mengejutkan, solusi jadi hal yang rumit pula.

“Saya tidak berpikir ada satu respon yang sesuai untuk semuanya,” kata Sophia Gnych, ‘tetapi saat ini produser sawit tidak memenuhi standar legal minimum.”

Penelitian Sophia Gnych memberikan sejumlah saran untuk meningkatkan keberlanjutan dalam industri sawit. Beberapa di antaranya mencakup penegakkan hukum regulasi yang ada, perencanaan pemanfaatan lahan dari pemerintah, mengangkat wacana keberlanjutan pada tingkat lokal dan memberikan bantuan teknis yang terjangkau dan layanan yang berkualitas tinggi bagi produsen kecil.

Penelitian ini juga memeriksa sisi lain persamaan – sisi permintaan – yang seringkali diabaikan.

SUPLAI DAN PERMINTAAN

Berbicara pada Konferensi Internasional Sawit dan Lingkungan Hidup (ICOPE) di Bali pada Maret lalu, Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Darmin Nasution menunjuk sisi permintaan sebagai lokus masalah.

“Beberapa negara Eropa tidak ragu untuk menyuarakan boikot pada sawit tidak berkelanjutan, namun, mereka harus mau membayar  harga premium untuk produk berkelanjutan,” katanya.

“Kami tidak akan menanggung beban sendiri, biaya keberlanjutan tidak hanya tanggungjawab produsen, tetapi juga tanggungjawab konsumen.”

Jadi bagaimana menanggapi ucapan menteri? Jika konsumen ingin lebih berkelanjutan, akankah mereka menanggung beban tambahan sawit berkelanjutan pula?

“Setiap orang perlu memainkan perannya. Saya tidak berpikir ini lantas soal konsumen membayar lebih. Ini soal mendistribusikan biaya secara adil pada rantai nilai,” kata Sophia Gnych.

“Saat ini, banyak keuntungan pada tahap eceran, pabrik, pengolahan dan perdagangan. Mendorong peningkatan dalam hal ini akan berpusat pada meluruskan rantai nilai dan redistribusi kesejahteraan.”

“Pada dasarnya, ini soal orang besar memberi tawaran lebih baik pada orang kecil, dan mengakui biaya sebenarnya produksi berkelanjutan.”

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org