Analisis

Kesepakatan Paris menyerukan perlindungan ekosistem dan hak asasi manusia

Menghargai hak dan ekosistem memberikan masukan sudut pandang terhadap Kesepakatan Paris, sesuatu yang diperlukan kalau kita ingin menghindari berbagai tindakan iklim yang "salah."
Bagikan
0
Konferensi pers Delegasi Masyarakat Adat di COP21, Paris.

Bacaan terkait

Kesepakatan iklim baru ini mungkin tidak sempurna, tetapi di dalamnya terkandung panduan tentang bagaimana mengambil tindakan iklim sekaligus memastikan hasil-hasil yang berkelanjutan secara sosial dan ekologis.

Kesepakatan Paris, yang diselesaikan pada tanggal 12 Desember 2015 setelah negosiasi bertahun-tahun di antara 196 negara, benar-benar bersejarah. Kesepakatan ini bukan hanya memandatkan pembatasan kenaikan suhu global sampai 1,5 derajat Celsius di atas tingkatan pra-industri – jauh di bawah sasaran semula sebesar 2 derajat – tetapi juga menyerukan perlindungan hak-hak atas tanah adat dan kesehatan ekosistem.

Contoh-contoh dari tindakan iklim yang merusak telah diidentifikasi dalam makalah pengarahan kami, Memastikan tindakan iklim yang benar untuk ekosistem dan manusia: Rekomendasi untuk Paris, dipersiapkan oleh Kelompok Kerja Pengamanan REDD+ (REDD+ Safeguards Working Group/RSWG), suatu koalisi Utara-Selatan yang terdiri atas lebih dari 40 organisasi yang memperjuangkan hak asasi manusia, lingkungan hidup dan masyarakat adat yang mendesak agar dilakukan pengamanan REDD+ yang efektif.

Kami menggambarkan berbagai tindakan iklim sebagai “salah” bila tindakan tersebut mengurangi emisi gas rumah kaca tetapi, sementara itu juga menghadirkan ancaman tehadap jiwa dan mata pencaharian penduduk asli dan masyarakat setempat, dan menimbulkan dampak buruk bagi ekosistem tempat kita bergantung. Berbagai tindakan ini mengakibatkan lebih banyak kerusakan daripada kebaikan dan tidak menghasilkan solusi yang dapat diandalkan dalam jangka panjang terhadap perubahan iklim.

SOLUSI YANG KURANG PERTIMBANGAN

Ambillah, misalnya, bioenergi berskala besar dengan tangkapan dan penyimpanan karbon (BECCS), sebuah teknologi geoengineering (intervensi berskala besar terhadap alam untuk mengatasi perubahan iklim) yang menghasilkan daya dengan menumbuhkan jumlah biomassa yang signifikan, membakarnya, dan kemudian menyimpan karbonnya di bawah tanah. BECCS sedang diperkenalkan sebagai sarana untuk mencapai emisi negatif di mana lebih banyak gas rumah kaca diserap dari atmosfer dibandingkan dengan jumlah gas yang dilepaskan ke atmosfer.

Tetapi BECCS juga digambarkan sebagai seekor gajah di ruang mitigasi iklim, dikritik sebagai solusi palsu dan tidak terbukti untuk mengurangi emisi dan untuk risiko yang ditimbulkannya terhadap ekosistem, masyarakat adat dan penduduk setempat melalui potensi perampasan lahan (land grabbing) dan penyalahgunaan hak-hak asasi manusia.

Tindakan iklim lain yang salah yang telah menyebabkan kerusakan ekologis termasuk aforestasi, konstruksi pembangkit listrik tenaga air dan bendungan irigasi, dan berbagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhan bioenergi. Dalam banya kasus, masyarakat terkait, penduduk asli dan para pemangku kepentingan lainnya tidak dilibatkan dalam konsultasi.

Di India, misalnya, eukaliptus monokultur ditanam di lahan seluas 3500 hektar dengan hanya sedikit konsultasi dengan masyarakat. Hal ini berakibat terkurasnya air tanah dan hilangnya zat hara tanah yang penting.

Di Guatemala, sebuah proyek pembangkit listrik tenaga air memicu protes hebat di antara suku-suku Maya Q’eqchi´ dan Poqomchi; proyek tersebut diduga disetujui tanpa informasi awal tanpa paksaan dari mereka.

Di Eropa, insentif untuk bahan bakar hayati memacu ekspansi perkebunan jagung di Jerman, mengurangi lahan berumput dan lahan gambut, sementara di Amerika Serikat, produksi jagung telah memengaruhi layanan pengendalian biologis (biocontrol services), yang mengakibatkan kerugian 58 juta dolar AS untuk para produsen kedelai.

Apakah Kesepakatan Paris dapat membantu mencegah berbagai tindakan iklim yang “keliru” ini? Jawabannya adalah ya, selama negara-negara menafsirkan Kesepakatan tersebut dan mengembangkan arahan dan prosedur untuk pengimplementasiannya dengan cara yang “benar.”

INKLUSI ATAU EKSKLUSI?

Kesepakatan tersebut mengenalkan seperangkat prinsip untuk memandu berbagai tindakan iklim dalam Mukadimahnya. Secara khusus, Mukadimahnya menyatakan bahwa negara-negara harus “menghormati, mendorong dan mempertimbangkan kewajiban mereka masing-masing terkait hak asasi penduduk asli, masyarakat setempat, migran, anak-anak, para tuna daksa dan orang-orang yang berada dalam situasi rentan dan hak terhadap pembangunan, dan juga kesetaraan gender, pemberdayaan kaum perempuan dan kesetaraan antar generasi. ”

Kesepakatan tersebut juga mengakui “pentingya konservasi dan peningkatan, sesuai kebutuhan, dari tampungan dan reservoir gas rumah kaca yang dirujuk dalam Konvensi tersebut” dan memperhatikan “pentingnya memastikan integritas semua ekosistem, termasuk samudera, dan perlindungan keanekaragaman hayati – ketika mengambil tindakan untuk menangani perubahan iklim.”

Beberapa pihak merasa kecewa karena rujukan terhadap hak asasi dan integritas ekosistem tidak dicakup dalam teks operatifnya. Di sini, kami perlu menjelaskan bagaimana ketentuan-ketentuan ini dapat masuk ke dalam Kesepakatan tersebut.

Ketika negosiasi selama dua minggu di Paris tersebut dimulai pada tanggal 30 November, kedua konsep tersebut dicakup dalam Mukadimah dan dalam Pasal 2.2 (Tujuan) dari rancangan kesepakatan tersebut. Sejak pertemuan dalam Konferensi Para Pihak di Lima tahun 2014, Filipina telah mendesak dengan kuat agar hak asasi manusia, hak-hak masyarakat adat, dan integritas ekosistem dicakup dalam Kesepakatan Paris.

Pada pertemuan antar sesi di Jenewa pada bulan Februari 2015,  berbagai ketentuan tentang hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat dimasukkan dalam teks negosiasinya, tetapi integritas ekosistem dihilangkan dalam kaitannya dengan tindakan mitigasi (dengan hanya menyelipkan teks di bagian adaptasi). Advokasi intensif oleh RSWG dalam pertemuan-pertemuan berikutnya akhirnya membawa pada reintroduksi teks tentang integritas ekosistem pada bulan Oktober 2015 berdasarkan teks yang diajukan Filipina. Filipina juga mengintervensi untuk mengembalikan teks yang telah dihilangkan tentang hak-hak masyarakat adat.

Sementara itu, kelompok kecil negara-negara yang semula mendukung Filipina telah bertumbuh, dan RSWG bergabung dengan koalisi masyarakat sipil lainnya dalam suatu usaha terkoordinasi dari semua unsur. Hal ini membawa pada pengembangan teks gabungan (disisipkan ke dalam Kesepakatan Paris oleh Filipina) dan pembagian pekerjaan yang disokong oleh dukungan bersama untuk memaksimalkan efisiensi dan efektivitas advokasi masyarakat sipil tentang hak-hak dan ekosistem.

NYARIS

Di Paris, RSWG bekerja keras untuk menjaga ketentuan-ketentuan penting agar tetap di tempatnya dan mendapat dukungan penting dari Meksiko (yang memimpin tentang hak-hak asasi, membentuk kelompok Friends of the Principles) dan juga dari Kosta Rika, Chili, Brazil, Tuvalu dan Indonesia.  Sebuah krisis pada minggu pertama menyaksikan pembahasaan tentang integritas ekosistem dikeluarkan dari teks yang diajukan oleh para ko-fasilitator kelompok sampingannya, sementara hak asasi manusia dikeluarkan dari Pasal 2.2 (Tujuan), hanya tersisa di Mukadimah. Filipina dan Turki mengintervensi untuk memulihkan pembahsaan tentang integritas ekosistem dalam Mukadimah, sementara Meksiko memastikan kami mampu menjaga pencapaian tentang hak asasi manusia.

Tahun-tahun mendatang akan menjadi penguji niat negara-negara untuk memastikan bahwa "Mukadimah revolusioner" menghasilkan perubahan nyata.

Para Penggagas

Kami di RSWG terus berkampanye dengan berani untuk pencakupan integritas ekosistem, hak asasi manusia dan hak masyarakat adat dalam bagian operasional dari teks tersebut. Kami menekankan bahwa 1,5 derajat Celsius akan sulit, kalau bukan mustahil, untuk dicapai tanpa integritas ekosistem. Kami mengingatkan para negosiator bahwa Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim berisi banyak ketentuan tentang ekosistem, termasuk dalam Sasaran (Pasal 2) dan Komitmen (Pasal 4) Kami menekankan bahwa pencakupan integritas ekosistem dalam Mukadimah tidak cukup, dan akan merupakan kemunduran dari Konvensi itu sendiri.

Pada minggu kedua pertemuan Paris, presiden COP Laurent Fabius mengumumkan pembuatan kelompok-kelompok konsultasi informal baru, termasuk kelompok tentang Mukadimah yang difasilitasi oleh Claudia Salerno, pemimpin negosiator iklim Venezuela.  Ketika pembicaraan memasuki hari-hari terakhir, di bawah tekanan berat dari kelompok antar-perwakilan masyarakat sipil dan Friends of Principles, negara-negara mengerahkan kemauan politik, yang menghasilkan apa yang digambarkan oleh Duta Besar Salerno sebagai “Mukadimah yang revolusioner.

PRINSIP-PRINSIP PEMANDU

Hal tersebut memberikan kerangka sosial dan ekologis yang jelas untuk semua tindakan iklim yang diambil berdasarkan Kesepakatan Paris, dan mewakili seperangkat prinsip pemandu yang kuat untuk tindakan iklim yang mengirimkan sinyal kuat yang tidak dapat diabaikan. Kesepakatan tersebut juga menyediakan untuk pengembangan berbagai pedoman dan prosedur selama lima tahun mendatang, membuka pintu untuk adaptasi perlindungan sosial dan ekologi lebih lanjut ketika Kesepakatan itu diberlakukan.

Mengapa hal ini revolusioner?

Pertama, hak asasi manusia, hak-hak masyarakat adat dan integritas ekosistem tidak tercakup dalam Konvensi 1992 atau Protokol Kyoto. Sekarang kita memiliki kesepakatan yang memberikan kepada mereka peran yang jelas dalam memerangi perubahan iklim.

Selanjutnya, kesepakatan iklim baru menugaskan negara-negara untuk memastikan integritas semua ekosistem, termasuk samudera, dan untuk melindungi keanekaragaman hayati ketika melakukan tindakan terkait perubahan iklim. Hal ini menemukan pijakan yang lebih kuat dan mantap dalam Pasal 5.1, yang menyatakan, “Para pihak harus melakukan tindakan untuk melestarikan dan meningkatkan, sesuai keperluan, tampungan dan reservoir gas rumah kaca” (yaitu “biomassa, hutan dan samudera, dan ekosistem terestrial, pantai dan laut lainnya”).

Ketika digabungkan bersama Mukadimahnya, Kesepakatan tersebut menyatakan dengan kuat dan jelas bahwa semua negara, baik negara berkembang maupun maju, dimandatkan untuk melestarikan dan meningkatkan integritas ekosistem dengan cara yang juga menghormati hak-hak asasi manusia dan hak masyarakat adat dan melindungi keanekaragaman hayati.

PERAN UNTUK REDD+

Hal ini dilengkapi dan diperkuat dengan pencakupan REDD+ dalam Kesepakatan Paris.

Ketika REDD+ pertama kali diperkenalkan pada tahun 2005, REDD+ hanya menangani pemberian insentif kepada negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi, tetapi RSWG bersama dengan berbagai kelompok masyarakat sipil lain bekerja keras untuk memastikan bahwa negara-negara akan menetapkan suatu sistem untuk melaporkan tentang implementasi pengamanan REDD+ sebelum mereka dapat menerima pembayaran berbasis hasil. Pengamanan REDD+ adalah langkah-langkah yang bertujuan untuk meminimalisir berbagai efek negatif yang mungkin dari kegiatan REDD+ terhadap masyarakat adat dan masyarakat yang mengandalkan hutan dan terhadap keanekaragaman hayati, untuk mencapai hasil-hasil yang positif.

Pengamanan ini diabadikan dalam keputusan yang dihasilkan oleh pembicaraan mengenai perubahan iklim di Cancun, Meksiko. Pada tahun 2013 di Warsawa, Polandia, suatu kemenangan signifikan diraih dengan syarat agar  negara-negara memberikan laporan ringkasan mengenai implementasi pengamanan REDD+ mereka sebelum mereka dapat menerima pendanaan berbasis hasil.

Dengan demikian, integrasi REDD+ dalam Kesepakatan Paris memberikan contoh untuk pengembangan pengamanan dalam Mekanisme Pembangunan Berkelanjutan (SDM), suatu instrumen mitigasi baru yang diperkenalkan dalam kesepakatan perubahan iklim. Ini akan menjadi perbaikan penting terhadap Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) dalam Protokol Kyoto, yang tidak mencakup pengamanan.

Sekarang suatu peluang muncul untuk mengembangkan aturan-aturan yang progresif, komprehensif dan berbasis hak, modalitas dan prosedur untuk SDM. Negara-negara harus meraih peluang ini, dan bertindak terhadap ketentuan dalam Kesepakatan Paris bahwa aturan-aturan SDM harus berdasarkan pada pelajaran dari “mekanisme dan pendekatan yang ada.” SDM akan mendapat manfaat besar dari berbagai pelajaran dan pengalaman pengimplementasian CDM (tanpa pengamanan), dan mengembangkan dan mengimplementasikan REDD+ (dengan pengamanan).

Langkah berikutnya dalam negosiasi tersebut akan menentukan panggung agar negara-negara dapat memberikan substansi pada rujukan Kesepakatan Paris terhadap perlindungan hak asasi manusia, hak masyarakat adat dan integritas ekosistem.

Tahun-tahun mendatang akan menjadi penguji niat negara-negara untuk memastikan bahwa “Mukadimah revolusioner” menghasilkan perubahan nyata. Kita memiliki sinyal yang benar dari Kesepakatan Paris; dengan penyelesaian global dan kemauan politik, kita dapat bekerja sama untuk mengubah sinyal ini menjadi tindakan iklim yang efektif.

Catatan: Para penulis berafiliasi dengan Ateneo de Manila University School of Government, yang merupakan sekretariat RSWG. La Viña dan Romero juga merupakan anggota masyarakat sipil dari delegasi resmi Filipina di Paris. Namun, pernyataan-pernyataan dalam artikel tidak dapat, dengan cara apa pun, dianggap sebagai posisi resmi Filipina.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org