Kebakaran lahan dan hutan di Indonesia. Akankah terus terjadi?

Indonesia memiliki jutaan lahan gambut kritis, rawan terhadap api. Dengan atau tanpa El Nino.
Bagikan
0
Ketika lahan gambut terbuka, paparan sinar matahari akan membuatnya kering, itulah yang menyebabkannya mudah terbakar. Aulia Erlangga/CIFOR

Bacaan terkait

Selama kurang lebih dua bulan, Indonesia dilanda kebakaran lahan hebat, menghasilkan gas beracun yang menyelimuti wilayah Indonesia di Sumatera dan Kalimantan, serta menyebar ke kawasan negara tetangga. Hujan yang turun minggu lalu memberikan sedikit harapan dan kelegaan sesaat. Namun krisis ini nampaknya belum berakhir.

Sebagian besar kebakaran lahan di Kalimantan Tengah terjadi di bekas lahan hutan gambut, yang telah dikeringkan, dibersihkan dan terbakar untuk keperluan pertanian kelapa sawit, baik skala besar dan kecil. Lahan kering ini amat mudah terbakar, di permukaan terbawah dan merambat dengan cepat ke permukaan lahan,

Lahan gambut terbentuk dari vegetasi yang mengalami pembusukan termasuk ranting-ranting pepohonan. Melalui proses ribuan tahun, lahan gambut merupakan rumah bagi ribuan tumbuhan dan satwa yang dilindungi, termasuk orang utan.

Semua ini hanya perlu beberapa bulan kekeringan, dan Anda akan menemukan kebakaran akan terjadi – David Gaveau

“Dalam keadaan alami lahan di wilayah ini tertutupi oleh hutan hujan tropis lebat, amat penting untuk gambut tetap basah dan terendam air sepanjang tahun. Ketika Anda mengeringkannya, dan Anda menghilangkannya dari hutan, lahan gambut akan terpapar oleh sinar matahari dan mulai mengering, itulah yang menyebabkannya mudah terbakar,” kata David Gaveau, ilmuwan dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).

Menurut David Gaveau, Indonesia memiliki jutaan lahan gambut yang terdegradasi, rawan terhadap api, artinya lahan itu bisa terbakar setiap tahunnya, dengan atau tanpa El Nino.

“Hanya perlu beberapa minggu, beberapa bulan musim kering, dan Anda akan melihat lahan-lahan ini terbakar,” ujar Gaveau.

Kepulihan lahan gambut

David Gaveau berada di Kalimantan bersama dengan para ilmuwan lainnya, untuk mengadakan lokakarya dan kajian lapang – bersama-sama dengan mitra lokal dari universitas dan pemerintah daerah. Dengan menggunakan teknologi terkini, para ilmuwan mengukur kedalaman gambut.

“Jika kami dapat mengetahui volume lahan gambut, dan bila lahan gambut terekspose seperti yang kami lihat sekarang di sini, kami dapat mengetahui kedalaman lahan yang terkena dampak kebakaran dan jumlah karbon yang dilepaskan oleh kebakaran lahan,” kata Daniel Murdiyarso, ilmuwan senior CIFOR.

Jutaan ton karbon dioksida yang tersimpan di lubuk dasar lahan gambut dapat terus terlepas jika kebakaran lahan terus berlanjut – para pakar memperingatkan – baik karena faktor kebakaran itu sendiri dan kebutuhan akan pembangunan perkebunan. Karbon dioksida merupakan salah satu gas utama pendorong terjadinya perubahan iklim. Sebuah laporan di tahun 2010 menunjukkan, 85 persen gas rumah kaca Indonesia berasal dari aktivitas pengunaan lahan dimana 27 persen dari aktivitas tersebut berasal dari kebakaran gambut.

“Gambaran yang lebih besar terletak pada masalah pelepasan gas rumah kaca. Jadi, sebuah wilayah lahan gambut yang sangat dalam mempunyai potensi untuk melepaskan sejumlah besar gas karbon, gas-gas rumah kaca. Bila, secara detil kami bisa mendapatkan informasi rinci kedalaman gambut, kami akan tahu – misalnya, seberapa pentingnya memproteksi lahan ini dari kepentingan lain-lain,” ujar Neil Terry, asisten riset pasca sarjana dari Universitas Rutgers New Jersey.

David Gaveau berpendapat, satu-satunya cara untuk memutus rantai siklus ini adalah dengan membasahi kembali lahan kering gambut, mengembalikan ekuilibrium hidrologi, dan melakukan restorasi vegetasi alami. Sehingga kebakaran di lahan gambut yang tidak terkontrol bisa dihentikan.

Bukan sekedar kabut asap, ini adalah kabut racun

Dalam kajian lapang, para ilmuwan mendemonstrasikan perangkat-perangkat yang dapat mengukur konten asap yang bersumber dari 5000 hektare lahan api, 30 kilometer dari pusat kota. Survei pertama menunjukkan tingginya konsentrasi karbon dioksida dan metana, dua gas utama gas rumah kaca, dan juga gas racun karnon monoksida. Yang lebih mengkhawatirkan, ditemukan juga kandungan amonia.

“Umumnya, saya pikir 50 mikrogram per meter kubik/µg/m³ adalah batas yang cukup aman. Dan departemen meteorologi di sini melaporkan nilai 1.000 dan lebih 2.000 mikrogram per meter kubik/µg/m³, yang sangat jelas ekstrim- bukan hanya untuk sehari saja tapi akan berlanjut mungkin untuk berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Mirip seperti gambaran kiamat,” kata Martin Wooster, Professor dari Earth Observation Science, King’s College London dan Pusat Nasional Observasi Bumi Inggris.

Dampak jangka pendek terhadap kesehatan manusia terlihat dari kehidupan sehari-hari di Palangka Raya. Pemerintah setempat telah membuka klinik oksigen, meliburkan sekolah-sekolah, dan rencana untuk mengevakuasi anak-anak dan orang tua yang beresiko tinggi. Bagi masyarakat, inilah kenyataan sehari-hari yang mereka alami.

“Banyak anak-anak menderita sakit saluran pernapasan (ISPA). Itu menurut pemerintah setempat dan media lokal, jelaslah hal ini akan berdampak pada mahalnya biaya kesehatan,” kata Hendrik Segah, seorang peneliti dan pakar lingkungan dan penginderaan jarak jauh dari universitas Palangka Raya.

“Dalam hal perekonomian, kebakaran mendatangkan kesusahan bagi para petani: kualitas panen yang buruk dan ongkos transportasi yang juga ikut naik,” kata Segah.

Peserta lokakarya menyatakan riset sains dapat membantu para pihak-pihak yang berkepentingan membuat keputusan tentang masa depan Kalimantan Tengah dalam hal perubahan iklim.

Gambaran Suram

Gambar termal satelit digunakan untuk menindai dan memantau pergerakan api. Hasil gambar-gambar diperoleh bersamaan ketika para ilmuwan berada 20 kilometer dari lokasi dinding api, yang bergerak ke arah hutan Kalambangan, salah satu rumah yang tersisa bagi orang utan.

Musim hujan akan segera tiba, mengakhiri El Nino, dan akan segera memadamkan kebakaran lahan tahun ini. Namun, masalah api adalah gejala yang berkelanjutan. Penyebab dasar krisis kebakaran lahan dan kabut asap amat rumit. Kecuali kita menginginkan terjadinya lautan api raksasa, maka solusi harus ditemukan.

Untuk keterangan lebih lanjut tentang lahan gambut Indonesia, silahkan menghubungi Daniel Murdiyarso di d.murdiyarso@cgiar.org

 

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org