Berita

Tutupan hutan dapat mengarahkan efektivitas rancangan kebijakan REDD+: para pakar

Insentif seharusnya disesuaikan dengan kondisi hutan. Kerangka kerja transisi hutan ini dapat menjadi pedoman.
Bagikan
0
Para ilmuwan telah mengidentifikasi empat jenis pilihan kebijakan REDD+, termasuk pencocokannya di dalam peringkat transisi hutan berdasarkan efektivitas kemungkinan kebijakan untuk setiap tahap. CIFOR / Julie Mollins

Bacaan terkait

BOGOR, Indonesia (13 November 2013) –  Kepadatan dan tingkat perubahan tutupan hutan di suatu negara bisa memberikan pedoman yang berguna bagi efektivitas perancangan konteks rinci kebijakan REDD+, demikian menurut para ilmuwan dari Center for International Forestry Research (CIFOR).

REDD+ (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan) adalah mitigasi perubahan iklim yang didukung oleh PBB, bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca global dengan menciptakan insentif yang mendorong pengelolaan lahan bagi perlindungan, perbaikan, dan pelestarian tegakan hutan.

Pengalaman menunjukkan, agar kebijakan REDD+ mengarah positif, biasanya disusun berdasar kondisi-kondisi spesifik di negara yang bersangkutan, kata Arild Angelsen, Senior Associate CIFOR dan profesor jurusan ekonomi di Norwegian University of Life Sciences.

“Banyak orang bertanya kebijakan REDD+ apakah yang paling efektif bagi sebuah negara, dan biasanya responnya adalah: ‘Itu tergantung dari kondisi-kondisi lokal dan nasionalnya’. Ini benar, namun tidak cukup membantu,” terang Angelsen.

Untuk menguak jawaban “itu tergantung” dan memberikan lebih banyak pedoman kebijakan, Angelsen dan Tom Rudel, seorang profesor ekologis manusia di Universitas Rutgers, New Jersey, membuat sebuah tulisan dengan judul “Designing and implementing effective REDD+ policies: A forest transition approach” (Merancang dan mengimplementasikan kebijakan REDD+ yang efektif: Sebuah pendekatan transisi hutan), yang dipublikasikan dalam Review of Environmental Economics and Policy.

“Kami menyatakan bahwa ‘itu tergantung pada’ merupakan tingkatan transisi hutan di sebuah negara atau kawasan,” ungkap Angelsen.

“Ini adalah sebuah kategorisasi yang masih kasar mengingat masih adanya variasi lokal, namun kami percaya akan menjadi sangat berguna nantinya.”

Hutan dalam Transisi

Berdasarkan kerangka kerja transisi hutan yang diusulkan, kondisi hutan dalam sebuah negara atau kawasan terbagi dalam tiga tingkatan utama.

Di tingkat pertama, “hutan inti”, di mana sebuah negara memiliki tutupan hutan yang rapat dan jumlah deforestasi rendah; contohnya di Suriname dan Gabon.

Peringkat kedua, “perbatasan”, yang ditandai dengan jumlah deforestasi tinggi dan terus berkurangnya tutupan hutan: contohnya di Indonesia.

Di urutan ketiga, “mosaik pertanian-hutan”, dimana telah banyak kehilangan hutan lebatnya. Hutan dan pertanian keduanya berjalan di bentang lahan yang sama dan aktivitas reforestasi kerap terjadi pula dalam tingkatan ini: contohnya di El Salvador dan Côte d’Ivoire.

“Insentif seharusnya disesuaikan dengan kondisi hutan dan kerangka kerja transisi hutan ini dapat menjadi pedoman,” lanjut Arild.

Fitur yang penting dalam kerangka kerja ini yaitu negara-negara tersebut terbagi menjadi beberapa tingkatan dan memiliki karakter yang sama, seperti diungkap dalam analisis Angelsen dan Rudel. Hal tersebut adalah, perubahan tutupan lahan, subtansi kebijakan hutan dan kapasitas untuk melaksanakan variasi kebijakan baru berdasarkan tingkatan transisi hutan.

Kepadatan populasi, karakteristik sosial dan tata kelola juga dapat merubah kurva transisi hutan: kepadatan populasi yang 10 kali lebih tinggi terjadi di mosaik hutan-pertanian dibanding di hutan inti; hutan inti adalah rumah bagi sebagian masyarakat termiskin di dunia; dan tensi terhadap hak tanah cenderung memunculkan konflik di kawasan hutan perbatasan.

“Mempertimbangkan perbedaan karakteristik di setiap tingkatan serta kebutuhan atas perbedaan kebijakan dan perbedaan kemampuan untuk mengimplementasikan kebijakan, menurut kami, kebijakan atau rancangan kebijakan yang berbeda  adalah langkah yang paling tepat dan efektif di tingkat transisi hutan yang berbeda,” terang Angelsen.

Padu Padan

Penulis mengidentifikasi empat tipe pilihan kebijakan dan memadupadankan pilihan ini ke dalam tingkatan transisi hutan serta melihat kemungkinan efektivitas kebijakan dari tiap tingkatan.

Hasil matriks menunjukkan pedoman “padu-padan” yang komprehensif dan mudah diikuti untuk merancang kebijakan yang efektif.

Untuk negara-negara dengan tingkatan hutan inti, mereka mengusulkan, tujuannya diarahkan bagi penegakan perlindungan pasif terhadap hutan yang telah ada, terutama menghindari pemicu deforestasi dan emisi karbon lewat proyek infrastruktur atau yang lainnya. Kebijakan berguna lainnya dalam tingkatan ini adalah mengklarifikasi hak properti, untuk menghindari sengketa lahan di kemudian hari dan mendirikan kawasan lindung.

Tujuan di hutan perbatasan yaitu menemukan cara pengurangan pemanfaatan bagi pertanian – selain juga dari deforestasi dan degradasi hutan – juga mempercepat dan memperkuat  upaya-upaya yang akan menstabilkan tutupan hutan secara berkala, seperti yang terjadi di tingkatan ketiga.

Penulis menyatakan bahwa sebagian besar kebijakan berguna dalam tingkatan ini, termasuk pula perubahan atau perlawanan terhadap kebijakan yang sebelumnya bertujuan untuk melakukan ekspansi ke wilayah perbatasan.

Kebijakan REDD+ dalam tingkatan ini juga bertujuan untuk mengurangi panjangnya waktu yang dibutuhkan sebuah negara untuk mengalami kondisi perbatasan.

“Dalam dunia REDD+, tingkat deforestasi di perbatasan hanya akan bertahan sebentar dan berlaku di wilayah yang sempit, sementara mosaik petanian-hutan akan terdiri dari lebih banyak hutan dibanding di tingkatan sebelumnya,” ujar Angelsen.

Negara-negara dalam tingkatan yang terakhir dari transisi hutan telah memiliki hak properti dan pengembangan pasar yang lebih baik. Penulis mengusulkan, negara-negara ini selanjutnya akan mendapat manfaat dari penanaman pohon, perbaikan teknologi pertanian untuk meningkatkan produktivitas dan pembayaran jasa lingkungan, meski insentif tsb akan ditujukan bagi  perbaikan hutan ketimbang melindunginya.

Namun, pembuat kebijakan harus melakukan lebih dari sekedar memperkenalkan kebijakan REDD+ yang spesifik, tambah penulis.

“Di setiap tingkatan, sama pentingnya untuk menghindari kebijakan dan proyek-proyek yang memicu dan mendorong deforestasi, semisal proyek-proyek jalan dan infrastruktur serta lebih mendukung pertanian,” lanjut Angelsen.

“Pendekatan ini mungkin di beberapa kasus akan bertentangan dengan tujuan pembangunan, namun paket kebijakan dapat menjadikannya menang-menang (win-win). Dan, di atas semuanya, REDD+ adalah mengenai iklim dan perubahan iklim mungkin adalah risiko masa depan yang paling besar yang harus kita hadapi untuk pembangunan di negara-negara miskin.”

Tulisan ini adalah bagian dari program penelitian CGIAR tentang Hutan, Pohon dan Wanatani.

Arild Angelsen akan berbicara dalam “Scaling up CSA: policies, development and mitigation potentials“, dalam side event di U.N. climate talks in Warsaw, Poland, on November 12, 2013.

Untuk informasi lebih lanjut tentang topik yang didikusikan dalam tulisan ini, silakan menghubungi Louis Verchot di L.verchot@cgiar.org

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org
Topik :   Restorasi Deforestasi

Lebih lanjut Restorasi or Deforestasi

Lihat semua