Berita

Ilmuwan sadap keahlian lokal untuk dalami pengetahuan tentang spesies terancam

Jika kita menunggu survei ekstensif yang dipimpin para pakar, banyak hutan akan terdegradasi atau hilang.
Bagikan
0
Pengelola konservasi seharusnya membangun kemitraan dengan masyarakat lokal dalam menyediakan data keragaman hayati yang sangat dibutuhkan, seperti penampakan Bekantan. Paul Williams

Bacaan terkait

BOGOR, Indonesia (7 Oktober 2013)_Melibatkan masyarakat lokal dalam upaya konservasi dapat menjadi cara yang reliabel dan berbiaya-efektif untuk mengidentifikasi habitat spesies diawasi di hutan tropis, demikian temuan sebuah kajian.

Sebuah laporan tertulis ilmuwan yang bekerja dengan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), yang baru-baru ini dipublikasikan di Environmental Management, disimpulkan bahwa masyarakat lokal dapat membantu mengembangkan pengetahuan dalam wilayah luas, membantu meningkatkan manajemen konservasi.

Mengingat manajer konservasi tidak bisa diharapkan untuk mengontrol dan melindungi semua spesies di hutan tropis, mereka memerlukan informasi reliabel mengenai signifikansi spesies untuk menyusun prioritas, kata kajian tersebut.

Bagaimanapun, di sebagian besar hutan tropis data tersebut tidak tersedia, tidak lengkap atau tidak reliabel serta kajian keragaman hayati dibatasi oleh mahalnya keahlian, waktu dan biaya. Hasilnya, kajian mempertimbangkan penggunaan pendekatan alternatif yang lebih mendorong penggunaan pengetahuan lokal.

Kajian enam pekan dilakukan di Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Timur antara 2007 dan 2008. Melibatkan 52 informan dari tujuh desa dan menelan biaya sekitar 5.000 dolar AS. Perbandingan riset lain, menggunakan hanya ilmuwan, diduga akan membutuhkan biaya sebesar 150.000 atau 400.000 dolar AS, kata kajian tersebut.

Kajian merupakan bagian dari tiga projek riset di Malinau yang dilakukan antara 2007 dan 2008. Ilmuwan CIFOR telah bekerja di wilayah itu sejak 1990-an. Dua kajian sebelumnya yang sudah diterbitkan, mengeksplorasi perubahan peran hutan bagi masyarakat lokal dan bagaimana upaya masyarakat bergantung hutan selama krisis seperti banjir besar yang menyapu tempat tinggal dan pertanian pada 2006.

Kajian ini dan kajian sejenis lain mengungkap keragaman hayati yang sangat kaya dengan masyarakat lokal yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai sumber daya alamnya, mencakup ribuan spesies tanaman dan hewan. Hingga baru-baru ini, bagaimanapun, pengetahuan ini hilang tanpa tersadap.

“Sebelum era desentralisasi, setiap keputusan terkait hutan diambil oleh pengambil keputusan di meja dan seringkali mengabaikan masyarakat lokal,” kata Michael Padmanaba, ilmuwan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan penulis utama kajian.

Pada 1999, pemerintah Indonesia memperkenalkan kebijakan desentralisasi untuk memperkuat pemerintah provinsi dan lokal, kata Padmanaba, seraya menambahkan bahwa proses tersebut juga membuka pintu bagi keterlibatan lebih masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan.

Pemanfaatan pengetahuan lokal secara perlahan menjadi biasa, katanya. Kajian ini secara khusus relevan bagi manajer dan pengambil keputusan lain, tambahnya, karena menunjukkan bagaimana pengetahuan masyarakat asli dapat menyediakan data yang sangat dibutuhkan dengan biaya rendah.

“Jika kita menunggu survei ekstensif yang dipimpin pakar, banyak hutan akan terdegradasi atau hilang sebelum nilai konservasinya dievaluasi secara bertahap,” katanya. “Pengetahuan lokal dan partisipasi memfasilitasi survei konservasi efektif dan berbiaya rendah. Kami merekomendasikan manajer konservasi lebih memanfaatkan potensi kolaborasi seperti itu.”

BEKERJA DENGAN MASYARAKAT

Penduduk desa dalam kajian berasal dari satu dari dua kelompok etnik lokal: Merap, yang utamanya merupakan petani padi, dan Punan, yang sebagian besar mengambil produk berbasis-hutan. Peneliti mewawancarai individu yang diakui penduduk mengetahui hutan dan sumber daya-nya, membawar mereka setara dengan 5,5 dolar AS untuk dua-tiga jam wawancara. Mengingat perempuan di penduduk desa biasanya kurang mengetahui hutan lebih dalam informan semuanya pria.

Peneliti fokus pada tujuh desa dimana merka telah tercipta hubungan yang baik. Dari 1999 hingga 2000, misalnya, peneliti telah bekerja di desa yang sama pula, di antaranya, membangun peta skala besar dengan fitur geo-referensi seperti sungai, jalan dan gunung. Tidak seperti peta tradisional, peta geo-referensi secara teknis lebih canggih, membuat peta tersebut lebih kredibel secara ilmiah, kata Padmanaba.

Riset awal ini terbukti bermanfaat dalam menentukan dimana dan kapan penduduk desa mengobservasi spesies dipilih untuk diperhatikan dalam konservasi untuk kajian terbaru.

Pertama, penduduk menunjukkan dalam peta gabungan dimana mereka melihat spesies tertentu. Kedua, peneliti menggunakan peta, bersama dengan kejadian signifikan dalam hidup masyarakat, sebagai “penanda”.

Kajian fokus pada penampakan dalam 10 tahun karena peneliti mempertimbangkan akurasi ingatan responden. Karena peneliti mengetahui tanggal aktual penanda waktu, mereka juga bisa menilai akurasi ingatan penduduk desa, dan lebih yakin mengenai kapan spesies tersebut diobservasi.

Ilmuwan bertanya kepada narasumber mengeai dua spesies tanaman dan enam hewan yang diketahui menjadi sorotan regional: tanaman parasit berbunga rafflesia, anggrek hitam yang dikenali dengan kelopak bertinta-hijau, serta beruang madu, tarsius, kukang, bekantan, macan tutul, dan orangutan. Seluruh spesies ini terancam oleh perusakan habitat, deforestasi, penebangan dan pertambangan, panen berlebihan dan kebakaran, yang membatasi teritori mereka, serta kapasitas untuk bertahan hidup.

Di antara temuan kajian, penduduk desa melaporkan telah melihat jejak kaki, tanda cakar khusus dan sarang pohon beruang madu, kulit, cakar dan gigi yang digunakan sebagai hiasan.

Tarsius dan kukang, keduanya dinilai sebagai penyendiri, terobservasi sebagian besar pada malam hari di ladang pertanian. Macan tutul nokturnal, juga berharga untuk cakar, gigi dan kulit, sangat jarang terlihat, tetapi dilaporkan oleh seluruh tujuh desa.

Pengetahuan dan partisipasi lokal menghasilkan survei efektif dan biaya-rendah. Kami merekomendasikan pada manajer konservasi untuk lebih mengoptimalkan potensi kolaborasi seperti ini.

Observasi seperti ini memperluas teritori yang telah diketahui spesies binatang ini, seperti juga penampakan rafflesia, genusyang memiliki bunga, bau dan warga berbeda yang sulit dibedakan dengan tumbuhan lain.

Salah satu kejutan kajian, tambah Padmanaba, bekantan dilaporkan bergerak lebih ke hulu dari habitat alaminya.

Terdapat juga observasi lama mengenai orangutan yang sebelumnya terjadi di wilayah yang bisa mengindikasikan potensi untuk re-introduksi.

Menemukanjejak spesies-spesies di teritori tak disangka adalah tanda bagi manajer hutan untuk berpikir ulang strategi konservasi di wilayah tersebut, kata Padmanaba.

MENILAI KREDIBILITAS

“Satu isu kunci yang kami diskusikan adalah apakah kami dapat mempercayai informasi dari masyarakat lokal,” kata Douglas Sheil, mitra senior CIFOR dan penulis pendamping kajian. “Kami membandingkan  sifat dan konteks beragam penampakan untuk melihat apakah ini sesuai dengan apa yang kami ketahui mengenai spesies ini.”

“Contohnya binatang yang dikenal soliter ditemukan menyendiri? Apakah mereka berada di habitat yang cocok dan menunjukkan perilaku tipikal? Karena informan-informan kami menunjukkan keakraban yang baik dengan spesies yang ditanyakan, dan bahkan penampakan tidak biasa tampak kredibel, kami menyimpulkan bahwa potensi untuk melibatkan masyarakat lokal dalam membesarkan jenis distribusi ini baik.”

Untuk mengukur reliabilitas informan, peneliti memasukkan anggrek hitam dalam kajian. Tumbuhan ini, biasanya menghuni padang rumput dan wilayah berpasir kuarsa, tidak dikenali di Malinau. Oleh karena itu, jika informan melaporkan melihat anggrek hitam, dan tidak bisa mendukung dengan informasi lokasi yang kredibel, kredibilitas hasil lainnya dipertanyakan. Faktanya, tidak ada satu pun yang melapor melihat tumbuhan tersebut, artinya para informan “lulus tes”, kata kajian tersebut.

“Sebuah hasil negatif dari seluruh informan kami membantu meyakinkan pandangan skeptis bahwa informan tidak memberi kami observasi positif hanya sekedar “agar kami senang”,” tambah Sheil.

Menegaskan kembali riset sebelumnya, kajian merinci beberapa tantangan kunci menerapkan pengetahuan lokal pada skala lebih luas: siapa yang bisa diajak bekerja, bagaimana menjamin komunikasi efektif, menentukan apa yang dipercaya dan menghindari kendala kultural serta kesalahpahaman. Untuk kajian mereka sendiri, bagaimanapun, peneliti mengaku yakin terhadap laporan dari masyarakat lokal reliabel.

“Kami menghabiskan berminggu, bahkan bulan, untuk membangun hubungan dengan masyarakat lokal,” kata Padmanaba. “Semakin lama kita tinggal semakin tinggi kepercayaan terbangun. Tetapi penting pula untuk berkomunikasi secara jelas, dan membawa hasilnya kembali pada mereka.”

Langkah berikut, katanya, menginformasikan praktisi konservasi, peneliti, manajer hutan, serta pengambil keputusan pemerintah, mengenai keuntungan melibatkan pengetahuan lokal dalam konservasi.

Untuk informasi lebih mengenai isu dalam artikel ini, hubungi Michale Padmanaba di m.padmanaba@cgiar.org atau Douglas Sheil di douglas.sheil@scu.edu.au

Kerja ini merupakan bagian dari Program Riset CGIAR mengenai Hutan, Pohon dan Agroforestri.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org