Analisis

Kami pikir, pesan The Economist kita mudah beradaptasi dengan perubahan iklim itu keliru.

Artikel The Economist membuat dua kesalahan prinsip dalam analisis untuk menarik konklusi kebijakan.
Bagikan
0
Gambar satelit. Digital Globe

Bacaan terkait

BOGOR, Indonesia (30 April 2013) – Artikel terbaru di majalah The Economist menegaskan bahwa suhu udara bumi telah stabil dalam 15 tahun terakhir meskipun terus terjadi peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.

Para penulis menemukan kurangnya pemanasan yang mengejutkan, meskipun sejumlah besar volume gas rumah kaca dipompakan ke atmosfer antara 2000 dan 2010.

Mereka kemudian memberikan penjelasan mengenai sensitivitas iklim dan menyatakan bahwa jeda yang tampak dalam peningkatan suhu bisa berarti bahwa menggandanya konsentrasi CO2 di atmosfer mengarah pada suhu yang lebih rendah dari dugaan, dan sebagai hasilnya, mungkin kebijakan sosial dan lingkungan seharusnya fokus pada adaptasi daripada mitigasi.

Kami mempertanyakan kedua klaim tersebut, bahwa suhu global stabil serta kesimpulan kebijakan yang ditarik.

Ilmuwan selalu bergelut dengan titik-titik infleksi dalam tren. Sulit untuk menduga kapan sebuah perubahan dramatis dalam tren akan terjadi, dan normalnya hal ini hanya bisa dilakukan lama setelahnya.

Masyarakat menuntut ilmuwan untuk membuat dugaan beralasan mengenai masa depan, apakah soal pasar, penyebaran penyakit, atau kecepatan deforestasi.

Ketika masa lalu tidak lagi bisa digunakan sebagai penduga yang baik untuk masa depan, kemampuan kita untuk melakukan ini melemah di setiap bidangnya. Namun, kita tetap perlu kebijakan ekonomi, kebijakan kesehatan dan kebijakan lingkungan. Kita harus menerima bahwa sebaik apapun ilmu pengetahuan kita, informasi mengenai masa depan selalu akan tidak sempurna, dan kita harus bertindak berdasarkan informasi yang tidak sempurna.

Apakah peningkatan suhu bumi melambat?

Tidak ada pengukuran tunggal dan sederhana untuk mengukur suhu bumi, tetapi kumpulan data yang diakui adalah HADCRUT4 and NASA’s GISS

Pembaca yang tertarik bisa melihat lebih dekat kumpulan data ini. Data-data ini memberi  pendekatan berbeda untuk mengisi celah spasial catatan suhu, tetapi keduanya menggarisbawahi pandangan yang sama: kita harus melihat tren jangka panjang untuk mengerti suhu global, tidak hanya 30 tahun terakhir.

Gambar di bawah ini menampilkan data HADCRUT4 yang digunakan artikel The Economist untuk mengambil kesimpulan kebijakan.

Graph shows the HADCRUT4 dataset as it appeared in the Economist

Figure 1: The HADCRUT4 dataset.

Suhu relatif tetap antara 1850 dan 1900 (garis hitam). Terdapat peningkatan kuat antara 1900 dan 1940 (garis merah), ada jeda 30 tahun (dengan sedikit tren negatif) antara 1940 dan 1970 (garis hijau), diikuti oleh lebih dari 30 tahun peningkatan suhu secara drastis (garis biru).

Sebagian berpendapat bahwa ada sebuah titik infleksi dalam tren 30 tahun di sekitar 2006. Sebagian lain menyatakan bahwa hal ini terjadi lebih dini akibat anomali suhu sangat tinggi yang terukur di 1998 (tahun yang ditandai El Nino terkuat sepanjang abad).  Orang bisa berbeda pendapat, tetapi tidak jelas apakah kita bisa mendeteksi tanda perlambatan dalam gangguan latar belakang seperti itu.

Bagi kami, pesan yang menjadi pekerjaan rumah adalah 8 dari 10 tahun terakhir telah terjadi pemanasan tertinggi sepanjang catatan. Tahun 2000-an lebih hangat daripada 1990-an, dan (bahkan sejak 1970) terdapat periode-periode percepatan dan pelambatan suhu udara permukaan.

Kita mengalami periode di 1990-an ketika pendugaan ilmiah terbaik memperkirakan sensitivitas iklim terhadap CO2 ada di bawah kecepatan aktual peningkatan suhu; juga kita mengalami sebuah periode di 2010-an ketika pendugaan ilmiah memperkirakannya terlalu tinggi.

Jadi sementara kurva suhu dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)—lembaga ilmiah yang menyediakan penilaian ilmiah komprehensif mengenai risiko perubahan iklim—cenderung lebih halus dari kenyataan, kita masih benar-benar tidak sepenuhnya mengetahui masa depan dan kita tidak bisa memprediksi titik balik suhu berikutnya.

Bagaimanapun, probabilitas peningkatan lebih besar daripada penurunan. Prediksi terbaik kami mengenai masa depan didapat dari model-model iklim. Riset terbaru dalam  Nature Geoscience menyatakan bahwa model awal telah berhasil memprediksi perubahan temperatur saat ini.

Bahaya memfokuskan diri hanya pada satu parameter perubahan iklim

Ilmu pengetahuan terus membawa pengetahuan baru yang menolong mengurangi ketidakpastian prediksi. Beberapa dari temuan baru tersebut memberikan gambaran lebih suram mengenai masa depan iklim, sementara yang lain memberi gambaran sebaliknya. Tidak ada yang akan membuat kita lebih gembira selain daripada semua skenario terburuk, atau bahkan skenario terburuk medium yang diprediksikan oleh IPCC menjadi tidak mungkin dan bahkan tidak terjadi.

Tetapi, membuang tren jangka panjang berdasarkan sedikit observasi dan membuat tafsiran keliru adalah bahaya. Artikel The Economist membuat dua kesalahan prinsip dalam analisis untuk menarik konklusi kebijakan.

Pertama, analisis itu terbatas pada satu tipe data—suhu udara permukaan. Sebuah artikel dari Persatuan Geofisik Amerika mencatat: “Banyak peneliti dan professional bekerja dengan data dari luar bidang utama pendidikannya, dan kurang pengetahuan, waktu, serta motivasi untuk melakukan survei menyeluruh dan mensintesis literatur serta dokumentasi pada kumpulan data yang tidak familiar.

Memfokuskan diri pada satu parameter perubahan iklim, seperti yang dilakukan artikel tersebut, tidak pada tempatnya untuk membuat rekomendasi kebijakan.

Panas dalam lautan terus meningkat, pola sirkulasi lautan terus berubah, gletser terus mencair dll. Faktanya, mayoritas panas berlebih dalam sistem bumi dapat ditemukan di lautan, bukan di atmosfer. Banyak aspek kerusakan perubahan iklim tidak ditangkap dalam pencatatan suhu udara permukaan.

Kedua, artikel ini secara keliru menyoroti dampak menggandanya CO2 di atmosfer. Walaupun hal ini merupakan pengukuran yang berguna untuk mengukur sensitivitas iklim, tidak ada dalam tren emisi yang menyatakan bahwa emisi kita akan berhenti ketika konsentrasi atmosferik mencapai titik ini.

Terdapat beberapa skenario ketika kita mencapai 2,5 kali konsentrasi CO2 pra-industri di akhir abad. Jadi menghindari pengurangan emisi hanya dengan beradaptasi terhadap perubahan bukan benar-benar sebuah pilihan dan sangat disayangkan bahwa artikel ini justru menawarkan hal tersebut.

Jadi apa yang seharusnya ilmuwan katakan kepada pembuat keputusan iklim?

Jelas bahwa terdapat ketidakpastian dalam sensitivitas suhu dalam sistem iklim terhadap gas rumah kaca; sains tidak pernah menyembunyikan fakta. Lebih jauh, kita tahu bahwa dampak lingkungan CO2 jauh melewati iklim semata; pengasaman lautan akibat peningkatan CO2 dapat menyebabkan masalah serius terhadap ekosistemnya.

Kita tidak berpendapat bahwa infleksi yang ada menyediakan landasan bagi penentuan kebijakan saat ini, dan seharusnya juga tidak digunakan sebagai argumen untuk tidak melakukan apapun. Ilmuwan tetap perlu untuk menyatakan pada para pembuat kebijakan bahwa kita seharusnya menyambut perlambatan sebagai ruang untuk melakukan tindakan membatasi kerusakan di masa depan; kita masih harus menempatkan pendekatan-pendekatan itu seperti sediakala.

Saat ini upaya global untuk mengurangi perubahan iklim benar-benar tertinggal di belakang jadwal yang seharusnya untuk mencapai jejak dua derajat. Bahkan jika satu atau dua dekade mendatang menunjukkan bahwa pemanasan global melambat daripada yang diantisipasi, ini hanya akan membantu mengurangi jurang antara realitas politik dan kebutuhan iklim. Risiko mengambil langkah terlalu jauh dalam upaya mitigasi sangatlah kecil.

Pepatah menyatakan bahwa “satu ons pencegahan itu lebih baik daripada satu pound pengobatan”.  Sistem hukum mewujudkan prinsip “kewajiban memelihara” yang menuntut  tanggungjawab pada sikap lalai mengakibatkan kerusakan pada masyarakat atau pihak ketiga.

Dalam kebijakan internasional, kita memiliki “prinsip pencegahan”, yang menyatakan ketika aktivitas menimbulkan ancaman terhadap kesehatan manusia atau lingkungan, aksi mitigasi harus dijamin bahkan dalam kondisi tidak adanya ketidakpastian karena hubungan sebab dan akibat. Gagasan-gagasan ini menjadi jantung dari banyak posisi kebijakan negara berkembang dan wacana internasional dalam keadilan iklim.

Ilmu pengetahuan telah cukup kuat untuk mendorong tindakan mitigasi perubahan iklim. Aktivitas manusia mengubah iklim, hal ini menimbulkan ancaman dan ancaman tersebut akan meningkat jika kita tidak melakukan apapun.

Kita memiliki prinsip-prinsip yang diwujudkan dalam nalar umum, hukum nasional, dan kesepakatan internasional. Dengan potensi kerusakan terhadap sistem iklim dan dampak negatif pada manusia, kesimpulan artikel The Economist tampak ceroboh.

Dunia seharusnya menerapkan prinsip pencegahan dan membatasi emisi.

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org