Berita

Tanah arang: lahan subur untuk pertanian berkelanjutan di Kalimantan?

Penggunaan teknik “tebang arang” meningkatkan kualitas tanah. Pengetahuan suku Amazon yang dianggap telah lama hilang.
Bagikan
0
Foto oleh CIFOR.

Bacaan terkait

BOGOR, Indonesia (24 Agustus, 2012)_ Di Amazon, tanah ini disebut Terra Preta. Suku-suku asli Kalimantan Timur, seperti suku Merap yang tinggal di dataran rendah menyebutnya tiem dan suku Punan di dataran tinggi memanggilnya punyuh. Arti kata tersebut dalam ketiga bahasa itu sama: “Tanah Hitam,” deskripsi yang pas untuk tanah kaya kandungan nutrisi yang sangat berharga bagi suku-suku penghuni hutan tropis.

Suatu tim ilmuwan lintas disiplin yang diketuai sepasang peneliti CIFOR menemukan bukti bahwa “Tanah Hitam” di Kalimantan Timur, sama halnya dengan yang di Amazon, bersifat “Antropogenik” — hasil budidaya manusia selama puluhan tahun, bahkan berabad-abad. Temuan ini dipublikasikan dalam sebuah makalah ilmiah di jurnal Forestry.

Bila studi ini dapat dibuktikan lebih jauh lagi, situs-situs di Kalimantan ini akan menjadi bukti ilmiah tercatat pertama akan adanya Bumi Hitam  Antropogenik (ADEs) di bagian tropis Asia. Fenomena ini sudah dikenal di Amerika Latin sejak awal abad duapuluh. Meski terpisah jarak hampir 20.000 kilometer, baik ADE Amazonia dan Indonesia diperkirakan berasal dari budi daya pertanian yang sama: “Tebang arang,” dan bukan pola yang lebih umum terjadi yaitu tebang bakar.

“Apa yang kami lihat (di lokasi penelitian kami) di Malinau (Kalimantan Timur) adalah bukti bahwa ADE yang disebabkan oleh penggunaan teknik “tebang arang” membawa peningkatan kualitas tanah dan tidak selalu merupakan pengetahuan suku Amazon yang telah lama hilang, seperti yang dipercayai sebagian orang,” kata Douglas Sheil, penulis utama makalah tersebut dan peneliti program Hutan dan Lingkungan Hidup di CIFOR.

“Perbaikan-perbaikan tanah ini dapat menyerap sejumlah besar karbon, melindungi keanekaragaman hutan dan membantu meningkatkan pertanian lestari di daerah-daerah yang sudah gundul dan hasil lahannya buruk.

“Tanah-tanah ini dapat dikembangkan dengan cara-cara dan teknologi yang sederhana dan murah yang dapat mengurangi tekanan pada tanah serta meningkatkan keberlanjutan ketahanan pangan di daerah-daerah di mana lahan langka,” ujarnya lagi.

Sheil memperingatkan bahwa asal muasal ADE belum sepenuhnya dapat dipahami. Namun, 15 persen karbon dalam kandungan tanah diperkirakan ada karena “arang”.

Perladangan berpindah – termasuk metode “tebang bakar” dan “tebang arang” — dipraktekkan banyak suku.

Dalam metode “tebang dan bakar”, pohon dan tanaman berbatang kayu ditebang dan dibakar sebagai persiapan lahan untuk ditanami – cara ini menghasilkan nutrisi tanah yang meningkatkan produktivitas untuk sementara.

Ketika pembakaran dilakukan secara menyeluruh dan yang tersisa hanya abu, pengayaan tanah bertahan tidak lama dan lahan harus lebih lama dibiarkan tidak terpakai sebelum siap untuk digunakan kembali.

Namun, metode yang hanya membakar sebagian, atau “tebang dan arang”, dapat memperbaiki struktur tanah dan menyediakan penyimpanan nutrisi yang lebih tahan lama yang berasal dari berbagai sumber, tetapi tampaknya mencerminkan pengolahan makanan dan limbah yang terkait dengan keberadaan manusia. Dengan berjalannya waktu, jika siklus pembersihan nutrisi arang berulang kali terjadi, hasilnya akan terjadi pembentukan ADE.

Peningkatan kesuburan tanah memungkinkan penduduk asli mempertahankan penghidupan mereka sendiri tanpa menggunakan pupuk kimia yang mahal. Hal ini juga membantu pelestarian keanekaragaman hutan serta penyerapan karbon sebesar lima sampai tujuh kali lipat, yang dapat berlangsung selama berabad-abad, bahkan ribuan tahun, dibandingkan dengan hutan hujan di sekitarnya.

Dari wawancara di lapangan, para peneliti mengetahui bahwa petani yang tinggal di hulu sungai Malinau di Kalimantan membersihkan lahan dengan cara yang lebih mirip dengan “tebang dan bakar”.  Teknik “tebang dan arang” pada umumnya terjadi dengan tidak disengaja, ketika seringnya guyuran hujan menghentikan pembakaran lebih awal dari yang direncanakan.

Hal ini mungkin menjawab pertanyaan mengapa hanya dua plot di antara 202 plot yang disurvei memiliki tingkat karbon 15 persen seperti di sampel Terra Preta dari Amazon, ungkap Imam Basuki, salah satu penulis makalah tersebut dan rekan peneliti di CIFOR.

Basuki menambahkan bahwa penelitian baru tersebut menyajikan argumen yang menyakinkan mengapa teknik tebang arang sebaiknya digunakan masyarakat lokal untuk peningkatan kesuburan tanah. “Hasil ini merupakan bukti kuat yang menunjukkan kepada petani dan pembuat kebijakan lokal bahwa sistem ini dapat meningkatkan produktivitas beras mereka,” tambahnya.

Meskipun terpencil, kabupaten Malinau sangat penting sebagai penyimpan air untuk untuk Kalimantan Timur, termasuk ibukota provinsi.  Daerah ini juga termasuk “lokasi terpenting” untuk keanekaragaman hayati, seperti yang diakui oleh World Wildlife Fund dalam kampanye konservasi “Jantung Borneo” yang dijalankannya.

Ini menjadi salah satu alasan lagi untuk mempromosikan tebang arang di Kalimantan, kata Basuki. Jika upaya pengayaan tanah melalui “tebang arang” dapat terjadi tanpa disengaja, seberapa banyak lagi yang bisa dicapai melalui upaya yang terarah?

Kebijakan Hak Cipta:
Kami persilahkan Anda untuk berbagi konten dari Berita Hutan, berlaku dalam kebijakan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International (CC BY-NC-SA 4.0). Peraturan ini mengijinkan Anda mendistribusikan ulang materi dari Kabar Hutan untuk tujuan non-komersial. Sebaliknya, Anda diharuskan memberi kredit kepada Kabar Hutan sesuai dan link ke konten Kabar Hutan yang asli, memberitahu jika dilakukan perubahan, termasuk menyebarluaskan kontribusi Anda dengan lisensi Creative Commons yang sama. Anda harus memberi tahu Kabar Hutan jika Anda mengirim ulang, mencetak ulang atau menggunakan kembali materi kami dengan menghubungi forestsnews@cifor-icraf.org